DS 17. Secreet About a Life
Karena Allah itu melihat, Allah dengar, Allah tahu, Allah peduli, dan Allah adil terhadap semua persoalan kamu.
—Fatimah Hulya Albaihaqi🍁🍁🍁
Sampai saat ini, Fatimah masih tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Umi. Selama dua tahun Fatimah sudah terbiasa menyembunyikan penyakitnya sendiri.
Mungkin, hanya Keira—sang sepupu yang tahu bagaimana kondisinya. Itu pun karena saat Fatimah memeriksakan kondisinya di rumah sakit, Fatimah tidak sengaja bertemu Keira yang sedang melaksanakan koas.
Fatimah selalu beranggapan mampu menyelesaikan semuanya seorang diri. Tanpa perlu ada yang tahu. Tanpa perlu ada yang mengasihani.
Tetapi ternyata semua itu tidak cukup. Kondisinya bahkan menurun, dan Fatimah menyadari itu kesalahannya yang tak teratur untuk mengatur asupan juga pengobatannya saat ia asik mewujudkan impian orang lain. Sebuah kelalaian yang menyebabkan penyakitnya bertambah parah.
Fatimah selalu berusaha terlihat baik-baik saja agar semua orang yang ia sayangi tak khawatir dengan keadaannya. Namun, kalimat Calista yang ternyata telah mengetahui segala rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat, membuatnya tak lagi bisa menghindar. Fatimah harus memberitahu Umi secepatnya.
Hingga, di ruang tengah inilah ia berada. Sedang menunggu reaksi Khodijah yang tengah membaca secarik kertas berisikan riwayat kesehatannya. Sedangkan di sisinya, Calista tak sedikit pun melepaskan genggaman mereka.
Khodijah menjatuhkan kertas itu ke lantai. Wajahnya terlihat syok luar biasa, menghantam dada Fatimah untuk ke sekian kali. Air mata yang perlahan menetes menjatuhi pipi wanita paruh baya di hadapannya, membuat Fatimah merasakan sakit yang teramat, sesak yang amat kuat.
Tidak ada kata, Khodijah memeluk Fatimah dengan segera. Sesaknya begitu terasa menyiksa. Isak halus wanita itu membuat sungai menganak di pelupuk mata.
Allah, rasanya ini semua sangat berat.
Bagaimana ia melihat dengan jelas kesedihan wanita terhebat di hidupnya. Sang umi yang biasanya begitu tegar—bahkan di masa paling terpuruk, seolah kehilangan tempat untuk berpijak di atas kakinya sendiri.
Khodijah membelai wajah putrinya lembut. Tatapannya begitu hangat. Khodijah mengecup kening Fatimah lama—lama sekali, kemudian menggenggam lengannya erat.
"Enggak papa, Fa. Enggak papa. Anak perempuan Umi ini hebat. Sangat hebat. Serahkan semuanya sama Allah, ya, Fa. Yakinkan iman kamu kalau semua ini adalah ujian dari Allah," ujar Khodijah penuh getar sebelum kembali memeluk Fatimah. Lebih erat. Seolah tidak mau kehilangan putrinya.
"Dengarkan Umi, ya, Fa." Khodijah berbisik di telinga Fatimah. "Mungkin Allah ingin kamu selalu dekat dengan-Nya. Mungkin Allah beri ujian ini untuk meningkatkan derajat kamu di mata-Nya. Umi tahu mungkin ini sulit. Tapi, kamu tahu pasti kalau surga juga enggak bisa diraih dengan mudah, bukan? Kamu ingin mendapatkan surga, 'kan?" Di dalam dekapan uminya, Fatimah mengangguk.
"Anggaplah ujian ini sebagai bayaran untuk kamu mendapat surga. Cukup bayar dengan ketakwaan kamu, Fa. Dan saat inilah waktunya. Terima apa pun yang telah Allah tetapkan. Penyakit ini hanya sebagian kecil dari semua kuasa Allah. Allah ingin lebih dekat dengan kamu, Fa. Sekarang, Allah sedang beri kamu kesempatan itu. Allah sedang beri kamu waktu untuk jadi hamba yang Dia cintai." Fatimah mencengkeram bagian belakang pakaian ibunya. Merasa teramat sakit, Fatimah tidak kuasa melihat ibunya sedih.
"Seperti Allah sangat mencintai Nabi Ayyub alaihi salam setelah kesabaran beliau atas segala cobaan sampai penyakit yang menimpanya. Janji sama Umi buat jadi sabar seperti beliau, ya, Fa? Janji sama Umi." Sekali lagi, di dalam dekapan ibunya Fatimah mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Surga
General FictionDi atas bentala ini, terkadang sesuatu datang tanpa terduga. Seperti angin yang datang tiba-tiba lalu menumbangkan pohon yang berdiri kokoh. Maka, seperti itulah kedatangan seorang Fatimah Hulya Albaihaqi bagi Rey yang tak pernah diduga olehnya. Gad...