"Ashadu allaa ilaaha illallaahu wa asy-hadu anna muhammadar rosuulullah." Lirihan kecil itu terucap dari bibir tegasnya. Sembari mengangkat kedua lengannya, dan menatap langit-langit kamarnya, ia kembali mengucapkan dua kali kalimat yang sama.
Selalu ada tangis yang sama di setiap malamnya. Ketika untaian kalimat itu terucap, rasa berdosa selalu menyelimuti benaknya.
Rey tidak pernah mengelak, jika dua kalimat yang selalu ia ucapkan sebelum terlelap adalah kalimat terindah yang pernah ia dengar selama 26 tahun hidupnya. Kalimat itu memiliki sejarah. Kala Papa, Mama, ia, dan Queen menyuarakan diri untuk bersaksi dan beriman atas Islam. Memang menyakitkan untuk mengingatnya, namun Rey tidak lantas melupakannya. Dua kalimat indah itu ... selalu terngiang di benaknya. Terucap setiap malam tanpa terencana, hingga menjadi sebuah kebiasaan.
Hingga kemudian, mata tajam itu terlelap. Mengambil segala kesadarannya. Meninggalkan bekas air mata yang selalu menjadi hias di pipi hampir di setiap malamnya.
Namun, hal itu pun tidak lama. Hanya beberapa saat sebelum mimpi yang dijemputnya lagi-lagi mimpi yang salah. Selalu mimpi buruk, tidak pernah ada mimpi indah di hidupnya setelah dunianya berubah. Ia kembali terjaga, napasnya memburu, keringat sudah bercucuran hingga membasahi bantalnya. Rey mengusap wajahnya kasar beberapa kali, sebelum menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri.
Jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Lagi, seperti setiap harinya, Rey terbangun di jam yang sama. Membuatnya mengerang, kenapa dia tidak bisa menjadi manusia normal?
Adakah manusia normal yang hanya tertidur selama satu jam di setiap harinya?
Rey memilih bangkit. Meraih botol wine dari lemari pendinginnya, ia menikmati satu gelas minuman itu di balkon. Cengkraman pada gelasnya mengerat, menandakan Rey benar-benar lelah. Lelah dengan semuanya.
Lelaki itu beralih menatap hamparan bintang-bintang yang berkelip menemani sang bulan. Indah. Persis seperti masa kecilnya. Masa kecil ... sebelum hal itu terjadi.
Lalu pandangannya beralih turun dan tak sengaja berhenti pada jendela yang terbuka dari rumah tetangganya. Cahaya lampu dari dalam ruangan itu memantul dari celah tirai yang bergoyang diterbangkan angin.
Membuatnya mengernyit ketika menyadari hal itu sudah terjadi bahkan sejak ia kecil. Entah siapa penghuni dari kamar ataupun ruangan itu, satu hal yang Rey tahu. Lampu dari ruangan itu selalu menyala, tepatnya di jam-jam sepertiga malam terakhir. Karena Rey juga selalu menyaksikan, bagaimana lampu ruangan itu mati jika jam sudah menghampiri pukul 21.00 malam.
Tidak berubah. Masih sama.
Rey menghembuskan napas. Berbalik masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu pembatas balkon. Lelaki itu kemudian melanjutkan langkahnya untuk duduk di sofa.
Lelaki itu memijat pelipisnya ketika kembali mengingat kejadian siang tadi. Ia masih menunggu kabar dari Grey untuk tahu siapa di balik penyerangan terhadap dirinya dan Quen. Yang Rey tahu adalah, Queen dalam bahaya saat ini.
Ini semua karena dirinya.
Kemudian lelaki itu meraih ponselnya. Menghubungi Smith-- Uncle-nya. "Uncle Smith ..." Lirihnya pelan penuh keputusasaan begitu panggilannya tersambung. Jika bukan pada Uncle-nya --penyelamat dan pelindungnya-- sudah dipastikan seorang Rey tidak akan pernah menunjukkan kelemahannya.
"Kenapa, Nak? Ada masalah apa?" Suara lembut dari seberang terdengar. Sukses membuat sedikit rasa lega melingkupi hatinya. Jika seperti ini, tidak ada alasan baginya untuk tidak melanjutkan hidup demi Uncle dan Aunty tersayangnya.
"Ada yang menyerang kami," Lirih Rey, mencengkeram ponselnya erat.
"Kami? Maksudmu kami--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Surga
General FictionDi atas bentala ini, terkadang sesuatu datang tanpa terduga. Seperti angin yang datang tiba-tiba lalu menumbangkan pohon yang berdiri kokoh. Maka, seperti itulah kedatangan seorang Fatimah Hulya Albaihaqi bagi Rey yang tak pernah diduga olehnya. Gad...