[45]. Pulang?

35.6K 4.1K 217
                                    

"Gue kecewa sama lo Ghe!" Seorang pemuda berwajah datar tengah meluapkan emosinya kepada seorang gadis yang berdiri menunduk didepannya.

"Lo tahu perbuatan lo itu lebih buruk dari iblis! Lo!" Jari telunjuk pemuda itu terangkat menunjuk tepat kewajah gadis yang masih setia menunduk sambil terisak. Ia mengusap wajahnya kasar, menangkup wajah gadis itu agar mau menatapnya. "Kenapa lo gini Ghe? Kenapa lo bisa sejahat ini? Hanya karena sebuah kecelakaan yang bahkan nyelamatin lo dari kematian! Bisa bisanya lo ngebales kebaikan orang yang udah nyelamatin hidup lo dengan cara najis kayak gini?!" Ia menarik lengannya yang menangkup wajah gadis itu.

"Maaf..." Cicit gadis itu dengan suara serak, ia hendak meraih pergelangan tangan pemuda itu yang langsung di tepis kasar oleh sang empunya.

Gadis yang tak lain bernama Ghea itu menatap penuh penyesalan kepada pemuda didepannya, ia meraih lagi lengan pemuda itu. Syukurlah ia tak mendapat tepisan lagi, lalu ia menempelkan lengan pemuda itu di pipinya.

"Maafin gue Al, gue salah." Mohonnya dengan air mata yang bercucuran. "Gue saat itu khilaf, gue kalang kabut. Impian gue hancur karena kecelakaan itu, lo tahukan seberapa berharapnya gue itu terjadi?"

Pemuda yang dipanggil Al itu menarik lengannya paksa, ia menatap penuh kepada gadis didepannya dengan sorot kecewa. "Kenapa lo minta maaf ke gue? Gue gak berhak dapat maaf dari lo, orang yang berhak dapat maaf lo sekarang lagi membutuhkan kejelasan dari lo. Temui dia, gue yakin. Dia udah nunggu lo untuk menjelaskan semuanya." Jelas pemuda itu panjang lebar, ia mengalihkan pandangannya ke pot kecil yang berada di sudut ruangan.

Kekehan hambar keluar dari bibir tipisnya, ia kembali meraup kasar wajahnya dan mengacak ngacak rambutnya frustasi.

"Lo tahu seberapa menderitanya penyelamat lo itu? Seberapa putus asanya dia? Gue aja setiap ngasih petuah kedia selalu ngerasa kasihan dan bersalah, selama ini gue udah cari lo kemana mana, gue udah coba buat manggil lo. Tapi lo gak ada, gue pengen maki maki lo sampai lo sadar sebarapa buruk perbuatan lo itu." Sambungnya dengan suara pelan, nyaris seperti berbisik.

Isakan gadis itu semakin keras, sungguh ia sangat menyesal. Saat itu ia sedang emosi dan berfikiran pendek, hingga melakukan hal keji seperti itu. Membuat hidup seseorang yang memberikannya kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya menderita, bahkan sekarang ia sudah mengetahui rahasia yang selama ini di simpan oleh tentenya rapat rapat berkat kecelakaan itu. Ia merasa sangat bersalah, seharusnya ia membalas kebaikan orang itu dengan kebaikan juga. Bukan malah hal kejam seperti yang ia lakukan dulu.

"Sekarang pergi temui dia, lo pasti tahukan dia dimana?" Lagi, pemuda itu berbicara dengan suara pelan, ia masih enggan menatap gadis yang masih setia terisak itu.

Ghea mengangguk pasti, ia meraih lengan pemuda itu. "Temenin gue ya, Al?" Pintanya memelas.

Lengan yang di genggamnya di tarik paksa oleh sang empunya. "Itu urusan lo, gak ada sangkut pautnya ke gue. Tugas gue cuma buat lo sadar, kalau urusan minta maaf lo harus pergi sendiri. Lo harus hadapin masalah yang lo buat sendiri." Setelah mengatakan demikian ia langsung berlalu dari hadapan gadis itu.

"Alva?" Lirih Ghea dengan bibir bergetar.

>>>><<<<

Di sebuah kamar bernuansa abu abu terdapat seorang gadis yang setia mematut didepan komputernya, ia terus mengetik dengan isakan kecil yang terus lolos dari bibir mungilnya.

"Maaf Al..." Lirihnya menghentikan jarinya yang terus mengetik, ia berdiri dari duduknya dan berjongkok di sebalah kursi yang sedari tadi di dudukinya. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua lengannya.

»»»»««««

Celi termenung di sebuah taman, ia menatap hamparan bunga yang sangat asri didepan sana. Ia merindukan orang Rumah, merindukan Neneknya, merindukan Kakeknya, merindukan bi Nuri, merinduka pengasuhnya, merindukan anaknya bi Nuri, merindukan pak Neis. Celi menelan salivanya susah payah, tidak bisa di pungkiri, dirinya juga merindukan Papanya.

Seberapa tidak perdulinyapun Papanya itu kepada dirinya, ia sama sekali tak membenci Papanya, pikirannya menyuruh untuk membenci, tapi hatinya selalu menolak untuk membenci. Apakah ini yang dinamakannya ikatan darah? Ia sama sekali tak bisa membenci pemuda itu.

"Hai."

Celi tersentak, ia langsung mencari asal suara. Tepat di sebelahnya seorang wanita cantik yang duduk di kursi roda tengah tersenyum lebut kepadanya.

Ia berdiri hendak mendorong kursi roda itu kembali masuk kedalam Rumah. Namun suara lembut ia menghentikan aksinya.

"Gak perlu, tante cuma mau menghirup udara segar." Cegah wanita itu lembut.

Celi menurut, ia kembali duduk di kursi panjang tempatnya tadi, namun bedanya ia sengaja duduk lebih dekat dengan wanita cantik disebelahnya.

"Rindu orang rumah?" Tanya wanita itu dengan lembut, Celi menatap penuh kepada wanita itu dan mengangguk.

"Iya tante." Balasnya sedikit kikuk.

Sungguh, ia tak pernah berhenti kagum kepada wanita didepannya ini. Tutur kata dan suara lembutnya membuat Celi terhipnotis, apalagi perilaku wanita itu yang sangat baik menambah nilai plus pada wanita itu.

Terlihat jelas wajah wanita itu berubah muram saat mendengar jawaban jujurnya. "Kamu mau pulang?"

Celi tampak termenung, ia kembali menatap hamparan bunga yang bermekaran didepannya. Apakah benar ia ingin kembali?

"Hei? Kenapa melamun?" Tegur wanita itu yang dibalas dengan gelengan kecil dari Celi.

Kemudian Celi meremas jemarinya, disini ia merasakan hal yang selama ini di impi impikannya, ia bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah dari pria yang menolongnya saat itu, dan juga. Ia juga bisa merasakan kasih sayang seorang ibu dari wanita didepannya ini.

Apakah ia egois? Meninggalkan Ayah kandungnya karena terlena oleh kasih sayang yang diberikan orang lain kepadanya. Apakah itu pantas dilakukan oleh seorang anak?

"Kalau memang kamu mau pulang biar tante yang bilang ke suami tante." Ujar wanita itu yang jelas sekali terdengar nada sedih dan tak rela dari suaranya.

Celi menimbang nimbang, ia menatap wanita didepannya ragu. "Celi gak tahu tante." Balasnya meringis.

Wanita yang dipanggil tante oleh Celi itu terkekeh gemas. Ia mengusap pucak kepala Celi dengan lembut, kemudian menjawel hidung mungil Celi. "Gak papa, sayang. Kamu bisa mikirin lagi nanti."

Celi terpaku, rasa hangat merembes masuk ke hatinya, matanya memanas. Sungguh, momen momen seperti ini adalah hal yang ia idam idamkan sedari dulu. Duduk berdua bersama seorang ibu dan menceritakan hal yang dialaminya selama seharian kepada sang ibu, tertawa bersama dan berpelukan. Ya, dirinya iangin merasakan pelukan seorang ibu yang tak pernah dirasakannya.

Tapi takdir terus berkata lain, ia tak pernah merasakannya baik di kehidupan dulu maupun kehidupannya yang sekarang. Tanpa diduga ia dipertemukan dengan orang orang baik dan memberikan segala hal yang ia impi impikan dari dulu.

Apa benar ia ingin kembali?

»»»»««««

Jangan lupa tinggalkan jejak ya.

Bentar lagi mau tamat ya! Kayaknya beberapa bab lagi.

Sorry kalau upnya lama:')

CELI [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang