Di sebuah kamar bernuansa abu abu terdapat seorang pemuda sedang termenung di balkon kamarnya. Ia menatap kearah langit cerah dalam diam, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Tak lama kemudian ia beranjak dan masuk kedalam kamar, ia menutup pintu balkon dan berjalan kearah kamar mandi.
Ia membasuh wajah menggunakan air dan melapnya menggunakan handuk kecil.
Tok! Tok! Tok!
Menyerngitkan kening, pemuda itu keluar dari kamar mandi. Ia berjalan menuju pintu kamar dan membukanya.
"Ada apa?" Tanyanya langsung kepada pelayan yang mengetuk pintunya.
Pelayan itu menunduk. "Di panggil turun sarapan den." Ujar pelayan itu sopan.
Pemuda itu menghela nafas, kemudian mengangguk. Menitahkan pelayan itu untuk pergi, sementara ia masuk sebentar kedalam kamar untuk mengambil ponselnya di atas nakas, mengantonginya dan berajalan keluar kamar tak lupa menutup pintu kamarnya.
Sebelum beranjak dari depan pintu, matanya sempat melirik ke arah ujung lorong, kemudian beranjak kearah berlawanan.
Di sepanjang perjalanan, tak jarang pelayan yang berpapasan dengannya menundukkan kepala atau menepi jika pelayan itu merasa menutupi akses jalan pemuda itu.
"Ma, pa." Sapanya begitu sampai di meja makan, ia mendudukkan bokongnya di kursi yang bersebarangan dengan kursi yang di duduki oleh kedua orang tuanya.
"Hmm." Balas wanita paruh baya itu cuek, sementara pria paruh baya di sebalah wanita itu tak merespon sama sekali.
"Pagi, kakek! Nenek!"
Dari arah tangga muncul siluet seorang anak kecil bergaun selutut tengah berlari ceria kearah meja makan. Hal itu mampu mengubah rawut wajah kedua orang paruh baya itu yang semulanya datar berubah menjadi cerah dan hangat.
Anak itu awalnya tersenyum lebar, tapi setelah mata mereka bertemu senyum itu mendadak luntur digantikan oleh wajah muram dan kecemasan yang tak ia pahami.
"Sini duduk sayang, di samping nenek." Pinta wanita paruh baya itu lembut.
Pemuda yang tak lain Rion itu hanya diam memperhatikan, ia melahap makanannya tanpa mengalihkan pandangannya dari anak kecil yang duduk tepat di depannya.
"Celi katanya mau pergi kerumah teman, ya?" Tiba tiba wanita paruh baya itu mengangkat topik yang membuat anak kecil yang tak lain Celi itu panas dingin.
Rion mengerutkan alisnya, teman? Sejak kapan anak itu punya teman? Bukannya anak itu hanya berada di dalam mansion saja setiap saat? Kapan anak itu menjalin hubungan pertemanan?
"He'eum" Celi mengguk dengan polosnya.
"Biar pak Neis yang ngenterin. Biar cucu nenek aman sentosa sampai tujuan."
"Iya, nenek."
Setelah itu keheningan kembali menyelimuti meja makan, mereka makan tanpa suara, hanya suara benturan sendok dan piring yang saling bertemu yang terdengar.
Rion ingin bersuara, tapi ia menahannya. Apakah ia pantas menanyakan itu? Atau yang lebih tepatnya, apa ia harus menanyakan hal itu? Apa itu perlu?
Dirinya hanya ingin tahu siapa teman anak itu, sejak kapan mereka mulai berteman, apakah teman anak itu berasal dari keluarga baik baik? Ia rasa tidak perlu menanyakan hal itu, toh, sebentar lagi ia juga pasti akan tahu siapa siapa saja teman anak itu kalau misalnya teman teman anak itu berkunjung ke mansion mereka.
Setelah mengahabiskan sarapannya. Rion beranjak dari kursinya, ia menatap Papa dan Mamanya bergantian.
"Rion berangkat dulu." Ujarnya hendak berlalu, tapi suara polos dan imut itu menyapa pendengarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CELI [SELESAI]
FantasyMENDING GAK USAH DI BACA!! KALAU MASIH NGEYEL YAUDAH!! TANGGUNG SENDIRI RESIKONYA🐒 Cerita pertama🐵 harap maklum kalau alurnya melenceng sana sini🐖 Jan di hujat🐷 💌💌💌 "Gue bukannya gak mau berusaha. Sekuat apapun gue berusaha, semuanya percuma...