[47]. Kebenaran.

37.5K 4K 221
                                    

"Dimana orangnya?"

Celi mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan, mencari cari keberadaan seseorang yang sepertinya sangat penting, sehingga membuat pemuda di depannya dengan suka rela menyeretnya untuk menemui orang itu.

Pemuda di sebelah Celi memutar bola matanya malas, kemudian matanya bergulir kesana kemari hingga ia berbalik, memberi kode kepada seseorang yang berdiri di belakang mereka untuk menghampiri Celi segera.

Menghela nafas pelan, akhirnya orang itu berani berjalan mendekati Celi, ia berdehem canggung saat matanya dan mata Celi bersitatap.

"Pertama tama, kenalin. Nama gue Ghea, dan itu." Orang yang tak lain Ghea itu memperkenalkan diri setelahnya ia menunjuk pemuda misterius yang berdiri di sebelah Celi. "Namanya Alva." Sambungnya yang mendapat anggukan acuh Celi.

Melihat respon Celi yang acuh membuat rasa gugup di diri gadis itu semakin bertambah, ia melirik kearah Alva dengan pandangan memohon yang mendapat dengusan dari sang empunya.

"Lebih baik kita duduk dulu." Saran Alva berjalan menuju sofa tak lupa menuntun Celi agar ikut duduk juga.

"Gue mau jujur."

Ghea membuka suara setelah mendudukkan bokongnya di kursi single. Kali ini ia terlihat serius.

Celi mengerutkan alisnya bingung, jujur? Memangnya kapan orang itu berbohong padanya? Kenal saja tidak.

Melihat rawut bingung Celi membuat rasa bersalah gadis itu semakin besar, ia mengusap keringat dingin yang bercucuran di pelipisnya kemudian berdehem.

"Sebenarnya...." Ia sengaja menggantungkan ucapannya guna meneliti setiap emosi yang terpancar dari wajah mungil anak di depannya. Namun, sangat sulit melihat perubahan emosi anak itu di wajah tenangnya. "Semua yang lo alami selama ini perbuatan gue." Sambungnya cepat, ia menutup kedua mata serta kedua telingannya setelah mengatakan itu.

Sementara Alva hanya menggeleng saja, sungguh sepupunya itu tak pernah berubah.

Celi mengerutkan alisnya tak paham, maksudnya? Bagaimana bisa orang ini mengatur segala hal yang dialami Celi? Seberapa besar pengaruh gadis di depannya ini di negara yang ditinggalinya sekarang? Apa lebih besar dari pengaruh keluarganya?

Menggigit bibir gemas, Ghea menghela nafasnya pelan, ia menatap lurus wajahnya mungil Celi. "G-gue seorang penulis." Akunya sedikit tergagap.

Lagi lagi Celi hanya mampu menyerngit, apa hubungannya penulis dengan kehidupannya?

Ghea berdecak, sepertinya ia harus lebih blak blakkan agar anak didepannya ini mengerti.

"Lo percaya transmigrasi?"

Celi mengangguk. "Transmigrasi itu perpindahan pend-"

"Bukan itu!!" Ghea langsung menyela dengan cepat. Ia memijit pelipisnya sekilas, tak mengerti dengan sifat anak didepannya ini. Bukankah anak didepannya ini memiliki hobi membaca novel?

Celi terkejut mendapat sentakan tiba tiba dari gadis di depannya ini, kemudian ia memasang wajah serius. "Gue tahu." Balasnya kemudian, Ghea melototkan matanya.

"Maksudnya itu-"

"Iya gue tahu, lo tahukan kalau gue punya hobi membaca novel?" Sela Celi memotong ucapan Ghea.

Ghea menelan salivanya, melirik Alva dari ekor matanya. Kemudian kembali menatap Celi. "Lo masuk kedalam novel, novel buatan gue." Ujar Ghea pelan.

Celi memiringkan kepalanya, menatap penuh tuntutan kepada Ghea agar menjelaskan lebih lanjut.

"Lo ingat nomor apartemen lo yang dulu?" Bukannya menjelaskan Ghea malah bertanya.

Walau masih penasaran Celi tetap mengangguk. "215." Jawabnya cepat.

Ghea tersenyum, kemudian membalas. "Nomor apartemen gue 216, artinya apart lo sama apart gue bersebelahan."

Celi menaikkan alisnya tak percaya, itu berarti dirinya dan gadis didepannya ini berasal dari dunia yang sama?

"Iya, gue sama lo berasal dari dunia yang sama. Waktu itu, dihari lo bunuh diri, gue lagi buat eksperimen. Gue lagi mencoba alat temuan gue sama Alva." Jelas Ghea menatap Alva di akhir kalimat.

"Alat itu bisa membuat kita masuk kedalam novel dan keluar dari dalam novel sesuka kita. Tapi waktu gue dan Alva ngecoba buat masuk berdua, tiba tiba mesinnya eror waktu giliran gue yang mau masuk. Di mesin itu di buat sudah menerima dua jiwa masuk kedalam novel, padahal gue belum masuk. Terus gue bingung lah ya,kan. Gue coba ngotak ngatik mesinnya mungkin ada yang salah, pas gue cek gak ada yang rusak." ia menjeda untuk mengambil nafas kemudian kembali melanjutkan.

"Pas gue lagi bingung bingungnya, tiba tiba gue denger suara ribut ribut dari sebelah. Suara orang teriak kenceng banget, pas gue samperin gue udah ngeliat lo tergeletak di lantai dengan satu cewek yang mangku kepala lo. Sebenarnya cewek itu minta gue buat bantu dia bawa lo kerumah sakit, tapi gue malah pergi masuk kedalam apart gue lagi dan ngeliat mesin itu yang ngeluarin asap dan tiba tiba meledak di depan gue. Tapi anehnya mesin itu tiba tiba ngilang, gue panik lah ya,kan? Trus gue cek keadaan si Alva yang udah kejang kejang, gue langsung teriak minta tolong sama orang." Tak terasa satu butir air mata menetes membasahi pipinya.

Sebenarnya jika di suruh mengingat kejadian itu Ghea tak sanggup, ini saja ia dalam keadaan terpaksa menjelaskan kepada anak didepannya ini, bagaimanapun semua yang terjadi karena ulah dirinya.

"Lo tahu? Sebelum ada orang yang datang nolongin Alva di udah berhenti bernafas." Lagi lagi Ghea memberhentikan penjelasannya karena lagi lagi terasa ada yang mengganjal di tenggorokannya.

"Disana gue kalut, gue nyalahin siapa aja yang ada di dekat gue. Bahkan gue nyalahin orang yang udah bawa Alva kerumah sakit untuk memeriksa keadaan lebih lanjut. Dan..." Ghea menunduk, kemudian kembali menatap Celi yang terdiam, anak itu tak bisa berkata kata ketika mendengar penjelasan dari gadis didepannya ini. "Gue juga nyalahin lo, karena lo rencana gue dan Alva jadi gagal, karena lo Alva pergi, jiwanya gak bisa dikembalikan lagi kedalam tubuhnya." Ghea terkekeh pelan diakhir kalimatnya.

"Gue malu banget, gue waktu itu kekanakan banget sampai gue nyusahin lo disini. Gue nulis takdir lo seburuk buruknya didalam novel, gue buat lo lahir dari rahim seorang wanita pelacur, gue buat lo dibenci sama Papa lo sendiri, gue buat lo ingat masa lalu lo dulu, gue sengaja ngebuat bingkai foto yang ada di kamar Papa lo menyerupai bingkai foto yang ada di apartemen lo dulu, karena gue udah tahu semua tentang lo, gue sengaja ngebuat tokoh yang selalu mencuri perhatian Papa lo, gue juga sengaja buat lo kecelakaan. Buruk bangetkan sifat gue?" Kali ini Ghea tak sanggup memandang wajah terkejut Celi, ia menundukkan kepalanya menyesal.

"Tapi yang anehnya, sekuat apapun gue buat Kakek dan Nenek lo untuk ngebenci lo, mereka gak pernah bisa benci sama lo. Mereka malah sayang banget sama lo, dan itu ngebuat gue kesel." Sambungnya lirih, ia bahkan tak perduli lagi bagaiman reaksi Celi, yang penting ia ingin membeberkan semua kebenaran yang harus di ketahui anak itu.

Ia memilin jari jemarinya gugup. "Dan akhir kahir ini, novel yang gue buat gak bisa lagi gue kendaliin. Semua tokoh tokoh yang ada di dalam novel mulai hidup dengan perasaan dan kemauannya sendiri. Serius, gue udah ngecoba buat memperbaiki semuanya, tapi nyatanya gue gak bisa lagi ngendaliin novel itu. Novelnya kayak terketik sendiri gitu."

Celi membuka mulutnya menanyakan hal yang sedari tadi mengganjal di pikirannya.

"Terus, gimana caranya lo bisa masuk kesini?"

»»»»««««

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sampai jumpa dipart selanjutnya.

Bye bye. 

CELI [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang