Setelah malam itu, mental Harry terguncang. Mungkin dia pernah memasuki labirin yang telah disihir pada saat Turnamen Triwizard. Tapi demi apa pun, labirin yang ia temukan bersama Draco tak kalah menyeramkan. Mereka bisa mendengar suara gemuruh beberapa kali, disusul suara seperti besi yang berkelontang. Meminimalisir bertemu bahaya, malam itu mereka langsung kembali ke Glade. Niat untuk menelusuri labirin seketika hilang. Baik Harry dan Draco, mendapat serangan panik yang membuat keduanya ketakutan.
“Monster seperti apa yang telah menjebak kita di tempat ini, Draco?” tanya Harry kala itu.
Draco menggeleng lemah. Ia sama terguncangnya. “Aku tidak tahu. Apakah kita akan mati di sini, Harry?”
Kedua mata yang berkilat cemas itu saling memandang. Mencoba menyampaikan pikiran yang menumpuk di benak masing-masing lewat tatapan.
“Tidak ...,” jawab Harry lemah. “Kita tidak akan mati di sini, Draco. Kita pasti bisa kembali.”
Draco diam sesaat setelah mendengarnya. Kemudian ia berkata, “Berjanjilah satu hal padaku.”
“What is that?”
“Di tempat seperti ini, mari jangan pernah meninggalkan satu sama lain.”
Harry setuju. Ia ketakutan dan tidak ingin berpisah dari Malfoy; satu-satunya orang yang berasal dari dunianya. Malam itu, mereka berdua terjaga hingga fajar. Kantung tidur mereka dibiarkan kosong. Keduanya duduk beralaskan rerumputan dengan api kecil di hadapan mereka. Meski kehangatan dari api itu menjalar, rasa pusing di kepala Harry tak bisa ia cegah. Ia ingin segera kembali ke Hogwarts. Meskipun ia harus berhadapan dengan Voldemort, itu lebih baik dari pada terjebak di tempat mengerikan.
Tak sadar, setetes air mata berhasil lolos. Memikirkan betapa kejamnya manusia yang menjebak para Gladers di tempat seperti ini, Harry merasa seolah hatinya diremat. Sakit sekali.
Mendengar isakan kecil dari pemuda di sampingnya, Draco meraih kepala Harry dan membiarkan pemuda itu menangis di bahunya. Jantung Draco juga berdebar tak nyaman sedari tadi. Sebenarnya ia juga ingin menangis. Tapi ia halau itu semua karena tak ingin terlihat lemah. Satu hal yang ia pelajari tentang dunia. Tak peduli di mana pun ia berada, kekejaman itu selalu nyata.
***
“Ada apa dengan wajahmu, Draco?” tanya Newt pagi itu. Setelah mengantar kepergian Minho dan Ben untuk berlari ke dalam labirin, Newt bergabung untuk sarapan bersama yang lain. Namun wajah Draco serta noda hitam di bawah matanya terlihat jelas. Padahal malam kemarin Newt sangat ingat bahwa Draco terlelap duluan.
Draco menggelengkan kepala. Dia menjawab seadanya kemudian lanjut memakan sarapan. Harry izin ke kamar mandi beberapa saat lalu. Hal itu membuat Draco sedikit cemas. Ia tidak ingin sendirian.
“Ngomong-ngomong, aku mendengar suara aneh tadi malam.” Kini Newt duduk di hadapan Draco dengan semangkuk penuh ubi manis. Di sampingnya ada Chuck dan Winston. Sedangkan di kedua sisi Draco kosong. Tadinya Harry duduk di sebelah kiri, tapi pemuda itu belum kembali.
“Oh ya? Berarti bukan aku saja yang mendengarnya,” timpal Winston. Pemuda itu meneguk minumannya dengan rakus.
“Bukankah suara aneh memang selalu terdengar di tempat ini?” Chuck ikut bergabung.
“Benar,” jawab Newt, “tapi baru kali ini aku mendengar suara tawa di kejauhan! Apa kau pikir itu tidak mengerikan?”
Draco merasa tenggorokannya tercekat saat mendengar itu. Ia tidak menyadari bahwa suara tawanya dan Harry semalam bisa sampai ke telinga Gladers.
“Aku juga mendengarnya, Newt. Aku terbangun karena tadinya mengira bahwa itu suara burung. Tapi karena terlalu mengantuk, aku tidak pergi mengeceknya,” papar Winston. “Hei, aku harus segera mengasah pisau. Alby memintaku untuk menyembelih domba hari ini. Aku duluan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Harry Potter and The Maze Runner
Fanfiction[slow update] Saat Harry mengetahui fakta bahwa Draco adalah penyebab semua kekacauan yang terjadi di Hogwarts, ia pun mencoba mengejar Draco untuk memastikannya. Namun serangan mantra yang dilemparkan oleh lelaki pirang itu terpaksa membuat Harry h...