Yang pada awalnya meyakinkan untuk memulihkan, nyatanya sama saja mematahkan kembali.
Katanya penyembuh, ternyata penyebab kambuh.
Katanya mengobati, akhirnya menyakiti.
Kadang yang kita kira mengobati luka ternyata malah menggoreskan luka baru.
Alin rapuh, dunianya terasa runtuh saat mendengar kata yang selama ini tidak ingin ia dengar. Mungkin ini sebuah karma baginya, karena pernah melakukan hal tersebut ke orang yang sama.
Alin tidak terlalu fokus pada sekitar, sampai-sampai mobil Haikal sudah berhenti di depan sekolahnya pun tak ia sadari. Membuat Haikal merasa khawatir dengan keadaan Alin yang seperti hidup enggan mati tak mau.
"Alin," panggil Haikal pelan.
Kedua mata Alin seolah malas menoleh, terlihat dengan gerakan matanya yang slowmotion.
"Alin sakit?"
"Hati Alin yang sakit, Bang."
Alin hanya mampu menggelengkan kepalanya. Dia bisa saja menceritakan semuanya kepada Haikal, akan tetapi ia takut kalau Abangnya marah terhadap Sean.
"Abang khawatir sama kamu, seharian kemarin kamu mengurung diri di kamar. Dan sekarang, kamu seperti ini."
Abang mana yang tidak khawatir melihat adiknya seperti ini? Pasti semua orang yang menjadi Abang akan merasakan kekhawatiran yang dirasakan oleh Haikal.
"Alin engga apa-apa. Bang Ikal hati-hati di jalan," ucap Alin, sambil mengecup pipi Haikal singkat, lalu keluar dari mobil Abangnya.
"Siapapun orang yang udah bikin adek gua kayak gini, engga akan gua kasih ampun!" gumam Haikal saat Alin sudah memasuki area sekolahnya.
***
Hari ini hari Senin, Alin agak malas sebenarnya untuk pergi ke sekolah. Apalagi harus mengikuti upacara.
Dengan langkah gontai ia menaiki satu persatu anak tangga yang menuju ke lantai dua, tempat kelasnya berada. Namun di pertengahan anak tangga ia harus bertemu dengan Keira, membuat Alin menghela napas. Tau apa yang selanjutnya akan terjadi.
"Pagi Alina!" sapa Keira sok akrab.
"Lesu banget kayaknya, padahal baru nyampe. Kenapa?"
Alin sangat malas jika harus melayani tingkah laku Keira. Mengingat kejadian malam itu membuat dirinya semakin muak terhadap gadis tersebut. Alin melewati Keira begitu saja, namun tangannya di cekal oleh tangan Keira.
"Lepas!" ketus Alin, menghentakkan cekalan tangan Keira.
"Gue belum selesai ngomong sama lo, Alin."
Alin menghela napas berat. "Apa lagi yang mau lo omongin?"
Keira mengibaskan rambutnya yang lurus serta panjang ke belakang. "Jangan pernah punya niatan buat merjuangin Sean lagi, karena endingnya akan tetap sama," ancamnya.
Mendengar ancaman Keira membuat Alin tersenyum sinis. "Gue gak semurah itu."
Keira berjalan ke hadapan Alin, sorot matanya menatap Alin dengan penuh kebencian.
"Lo udah murah, jangan berlagak kalo lo mahal!"
Baru saja Alin akan membalas perkataan Keira, bel sudah berbunyi. Pertanda upacara bendera merah putih akan segera dimulai.
"Minggir, gue mau ke kelas," ujar Alin sedikit mendorong tubuh Keira ke tepi.
"Alina!" panggil Keira, namun tidak di gubrisnya oleh Alin.
"Aaa .... "
Bruk!
Alin menghentikan langkah kakinya di saat indra pendengarannya menangkap suara orang jatuh tepat di belakangnya. Ia memutar badannya 180°, dan betapa terkejutnya Alin saat melihat Keira sudah terbaring di lantai.
"Keira .... "
Alin menatap tangan yang tadi sedikit mendorong gadis itu. Ini bukan salahnya, bukan Alin yang melakukannya. Bertepatan dengan itu para siswa mulai berdatangan, sebagian orang menjerit histeris saat melihat Keira yang terbaring di lantai.
"KEIRA!!"
Rima berlari dari arah lantai dua, melewati Alin begitu saja. Gadis itu menghampiri tubuh Keira dengan raut wajah yang sangat panik.
"Kei, bangun Kei!" ucap Rima parau, mulai menangis.
Para murid bahkan guru-guru mulai mengerubungi Keira. Salah satu guru mengintruksi supaya Keira cepat dibawa ke rumah sakit. Tentu saja Rima ikut bersama Keira. Alin masih mematung di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"KENAPA INI BISA TERJADI?!" teriak Kepala Sekolah yang juga ada di sana. Menatap anak-anak muridnya satu persatu.
Terdengar para murid saling berbisik-bisik, dan sesekali matanya melirik ke arah Alin yang masih tidak beranjak juga, berada di anak tangga paling atas.
"ALIN PELAKUNYA, PAK!" seru salah satu murid perempuan, jari telunjuknya mengarah ke Alin.
Di tunjuk tiba-tiba seperti itu membuat Alin membelalakkan matanya. Dia saja tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.
"Enggak! Bukan saya pelakunya," bantah Alin.
"Bohong! Jelas-jelas saya melihatnya mendorong Keira, Pak," adu salah satu murid laki-laki yang ada di sana.
Setelah itu terdengar teriakan-teriakan para murid yang memojokkan Alin sebagai pelaku atas jatuhnya Keira.
"Emang dia pelakunya?"
"Dari wajahnya sih kelihatan polos, eh ternyata cuma topeng doang."
"Bisa-bisanya dia kayak gitu."
"Percuma cantik kalo gak ada attitude."
Alin mendengar semuanya. Indra pendengarannya masih normal. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Orang-orang menatap ke arahnya dengan tatapan meremehkan. Alin benci akan tatapan itu.
"DIAM!" teriak Kepala Sekolah lagi. Teriakannya mampu membuat keadaan menjadi hening.
"Alin! Ikut Bapak ke kantor!"
Alin memejamkan kedua matanya sesaat. Ia tau apa yang selanjutnya akan terjadi. Dengan berat hati Alin menuruni anak tangga satu persatu, mengikuti langkah Kepala Sekolah di depannya.
Sindiran dan cibiran terdengar jelas di telinganya saat ia melewati kerumunan para murid. Yang mampu Alin lakukan hanya menundukkan kepalanya.
Alin memandang tangan yang sempat ia gunakan untuk mendorong tubuh Keira, yang ia rasa dorongannya tidak terlalu kuat sampai mengakibatkan gadis itu terjatuh.
"Gue gak salah .... "
***
Kira-kira apa yang bakalan terjadi dengan Alin?
Btw, aku gedeg banget sama si Keira😭
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar yaa <3
Terima kasih!
Lope sekebon buat kalian❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [END]
Teen FictionIni tentang aku, kamu, dia, dan kisah masa lalu yang terulang kembali. Start : 05 Desember 2020 Finish : 09 Agustus 2021 ©Cover: Pinterest