10. Pertemuan Kedua

1.5K 277 117
                                    

"Kau tau? Sebuah bintang tak akan bersinar tanpa kegelapan."

°°°

Alin berdiri di depan cermin yang ada di kamarnya, dia memberikan sedikit polesan bedak di wajah dan juga liptin di bibirnya. Alin termasuk ke dalam cewe-cewe yang tidak terlalu memikirkan penampilan, dia hanya berpenampilan seadanya. Tampak terlihat rambut yang di ikat asal dan poninya yang menutupi sebagian wajah, malah menambah kesan imut di wajahnya. Tetapi bagaimana pun penampilannya, cewe gagal move on itu tampak sangat cantik dan menggemaskan.

"Tidak terlalu buruk," gumamnya setelah selesai mengoleskan liptin di bibirnya yang mungil.

Setelah di rasa puas melihat penampilan sederhananya yang hanya menggunakan sweater dan celana jeans, Alin langsung bergegas mengambil slingbag yang tergeletak di atas kasur. Gadis itu setengah berlari kecil menuju ruang keluarga untuk menemui Bunda dan Ayahnya.

"Kamu mau kemana malam-malam gini udah rapi?" tanya Ayahnya yang kala itu sedang meminum kopi.

Alin hanya cengengesan tidak jelas. "Mau ke kafe, Yah."

"Ck, anak perawan gak baik keluar malem-malem," ujar Ayahnya.

Alin memajukan bibirnya kesal. Beginilah jika Ayahnya sedang di rumah, ia tidak akan di izinkan untuk keluar malam. Apalagi kalau di tambah ketika abangnya pulang.

Alin merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak pertama Alin merupakan perempuan, namun sudah memiliki keluarga sendiri. Kakak keduanya yaitu laki-laki, yang kini tengah menjalani kuliah di luar kota.

"Sekali ini aja, boleh kan, Yah?" Gadis itu sudah duduk di samping Ayahnya sembari memeluknya dari samping.

"Alin janji gak bakalan pulang terlalu malam," bujuk Alin.

"Kamu ini, kalau ada maunya pasti manja sama Ayah kamu," sahut Hana-Bunda Alin yang tengah sibuk melipat baju.

Mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Ibu negara membuat Alin nyengir kuda. "Kali ini aja, izinkan Alin pergi ya." Tak gentar Alin terus membujuk Ayahnya.

Terdengar helaan nafas dari Ayahnya membuat Alin was-was, takut Bapak negaranya akan marah. "Baik, malam ini kamu boleh pergi."

Alin menatap Ayahnya dengan tatapan berbinar. "Tapi ingat," ucap Ayahnya tiba-tiba. "Jam sembilan malam kamu harus sudah ada di rumah," lanjutnya.

Dengan semangat 45 Alin langsung membenarkan posisi duduknya, tangan kanannya ia tempelkan ke dahi membentuk posisi hormat.

"Alin janji, jam sembilan bisa pastikan kalau Alin sudah ada di rumah."

Ayahnya terkekeh melihat tingkah laku putri bungsunya sembari mengelus rambut Alin, sedangkan Bundanya hanya menggelengkan kepala.

"Berangkat sana, nanti keburu malam," titah Bunda Alin.

"Yee ... Bunda mah ngusir Alin, bilang aja kalau Bunda mau berduaan sama Ayah," ucap Alin memajukan bibirnya merajuk.

Ayahnya semakin di buat terkekeh oleh tingkah laku putrinya itu. "Sudah-sudah, kamu hati-hati di jalan, bawa motornya jangan ngebut!" Ayahnya mengingatkan.

"Siap Ayah!"

Sebelum berangkat Alin mencium kedua tangan mereka sebagai kewajiban seorang anak yang menghormati kedua orang tuanya , dan tidak lupa pula untuk mengucapkan salam.

Hiraeth [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang