68. Jangan Patahkan Harapan Alin

803 102 7
                                    

"ALVIAN SIALAN!"

Samar-samar dia mendengar suara orang berteriak. Alin mencoba membuka matanya perlahan, tapi sangat sulit sekali. Ia sedikit bergerak, seketika badannya terasa ngilu.

"Shh .... "

Kenapa badannya terasa sakit sekali? Alin yakin ini pasti karena dirinya terlempar beberapa meter pas kecelakaan yang menimpa dirinya dan Vino.

Vino? Bagaimana dengan keadaan laki-laki itu? Apakah dia baik-baik saja?

"Lin ... kamu bisa denger Abang?"

Itu suara Abangnya, Haikal. Alin merasakan tangannya ada yang menggenggamnya.

"B-bang ...."

Dengan mata setengah terbuka Alin melihat Abangnya yang meneteskan air mata. Dan kalau tidak salah lihat, di belakang tubuh Abangnya ada Dion dan Rima.

"Apa yang sakit? Biar Abang panggilkan Dokter."

Alin menggelengkan kepalanya pelan. Sesekali matanya terpejam, rasa ngilu dan sakit bercampur menjadi satu ia rasakan di tubuhnya.

Pikiran Alin tertuju kepada satu nama, yaitu Vino. Ia sangat khawatir dengan keadaan laki-laki yang sekarang adalah pacarnya.

"Bang .... "

"Yes, little girl?"

"Dimana Vino?"

Melihat Haikal yang langsung terdiam, begitu juga dengan Dion dan Rima yang terlihat memalingkan pandangannya membuat Alin kembali bertanya.

"Dimana Vino, Bang? Dia ... dia baik-baik aja, kan?" tanya Alin.

"Alin mau minum? Abang ambilkan ya."

Haikal mengalihkan pertanyaannya. Alin merasakan tidak enak hati.

"Vino dimana, Bang? Jawab pertanyaan Alin ...." ucap Alin lirih, pipi gadis itu sudah banjir dengan air mata.

"Vino ada di ruangan lain."

Mendengar jawaban dari Haikal membuat Alin menghela napas lega. Ia sangat takut jika laki-laki itu akan meninggalkannya. Alin tidak mau jika hal itu sampai terjadi.

"Bang Ikal."

"Ya, Sayang?"

"Alin mau ketemu Vino," pinta Alin dengan wajah sendu.

Haikal langsung menggelengkan kepalanya. "Enggak!" jawabnya cukup tegas.

"Alin mohon Bang ...."

"Kamu baru aja sadar, Lin. Bahkan untuk bangun saja kamu belum cukup kuat."

Apa yang dikatakan oleh Abangnya benar. Tapi ia ingin melihat secara langsung bagaimana keadaan Vino. Ia mencoba bangun, Haikal tampak mencegahnya. Namun ketika dengan sekuat tenaga mencoba bangun, yang Alin rasakan adalah rasa sakit dan ngilu yang luar biasa.

"Alin! Nurut sama Abang!" sentak Haikal.

"Bang ...." tegur Dion pelan. Bagaimana pun juga Alin baru sadar, dan tidak boleh di sentak seperti ini.

"Tapi Alin mau liat keadaan Vino, Bang ...." ujar Alin seraya menangis tersedu-sedu.

Haikal mengerti bagaimana perasaan adiknya. Akan tetapi bagaimana pun juga Alin baru sadar, bahkan keadaannya saja belum benar-benar membaik. Untuk bangun saja gadis itu tidak bisa, apalagi pergi ke ruangan Vino. Dia tidak mau adiknya semakin kenapa-kenapa.

"Alin mohon Bang .... "

Haikal menatap wajah Alin yang pucat, lalu mengelus puncak kepalanya dengan lembut.

"Besok kita ke ruangan Vino."

Senyum Alin merekah, dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Terima kasih, Abang kesayangannya Alin."

Haikal tersenyum. "Sama-sama gadis kecil."

Alin tidak sabar untuk menantikan hari esok. Ia tidak sabar untuk melihat keadaan Vino dengan mata kepalanya sendiri, dan kembali bercanda gurau dengan laki-laki itu. Kedua matanya menatap ke arah jendela, terlihat langit yang cerah dengan warna kebiruan.

"Vino ... Jangan patahkan harapan Alin, ya."

***

Seperti apa yang dikatakan oleh Haikal kemarin. Hari ini Alin akan menemui Vino di ruang rawatnya dibantu dengan sebuah kursi roda. Bagaimana pun juga ia belum cukup kuat untuk berjalan.

"Kalo udah gak kuat cepet-cepet kembali," ucap Bundanya mengingatkan.

Alin tersenyum. "Iya, Bunda."

"Kamu di antar sama Abang kamu, ya. Ayah mau cari duit dulu buat kalian," ujar Ayahnya sedikit bercanda.

"Duitnya yang banyak ya, Yah," saut Haikal yang sedang memegangi kursi roda Alin.

Alin hanya terkekeh melihat kelakuan Ayah dan Abangnya. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya Alin langsung menuju ke ruang rawat Vino.

"Ini ruangannya," kata Haikal.

Alin memandang ruangan di hadapannya. Entah kenapa hatinya terasa jedag-jedug. Pintu tiba-tiba terbuka, menampilkan kedua pasangan paruh baya yang menatapnya seperti terkejut.

"Alin?"

Alin tersenyum saat Om Gio-Papa Vino menyapanya. "Iya, Om."

"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya lagi.

"Sedikit mendingan, Om."

"Pasti mau ketemu Vino, ya?" tanya Mama Vino dengan senyum jail, tetapi raut wajahnya menampilkan sebuah kesedihan.

Alin hanya tersenyum salah tingkah. Walaupun saat pertemuan pertama dengan kedua orang tua Vino bisa dibikang cukup sangat baik, akan tetapi dia tetap saja merasa gugup.

"Masuk aja. Sekalian Om sama Tante titip Vino ya, kami berdua akan pulang ke rumah terlebih dahulu."

"Baik, Om," ucap Alin dan Haikal secara bersamaan.

Selepas kepergian kedua orang tua Vino, mereka berdua masih terdiam di tempat. Sebenarnya bukan Alin yang terdiam, akan tetapi Abangnya. Entah kenapa, Abangnya tampak ragu untuk membawa dirinya ke dalam ruangan itu.

"Bang."

Haikal terkesiap, menunduk melihat adiknya yang menatapnya bingung.

"Ayo masuk," ajak Alin.

Haikal mengangguk lalu kembali mendorong kursi roda Alin. Perlahan tangan kanan Alin mendorong pintu di hadapannya. Ia tak bisa menyembunyikan senyumannya. Sebentar lagi dirinya akan bertemu dengan laki-laki yang sangat ia rindukan.

Deg!

Alin tertegun saat pintu sudah terbuka. Senyuman di wajahnya seketika luntur. Tubuhnya terasa kaku, bahkan lidahnya kelu tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan Haikal hanya memalingkan wajahnya ke lain arah.

"Bang," panggil Alin dengan suara bergetar.

"Iya, Lin?" Haikal mencoba bersikap kuat, tetapi kedua matanya sudah berkaca-kaca.

"Kenapa di tubuh Vino banyak sekali kabel?"

_______________
-batas suci-


Hallo semuanya!

Kalian mau Hiraeth happy end atau sad end? wkwk

Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Please, jangan jadi pembaca gelap :(

Bantu share cerita ini ke teman kalian. Terima kasih <3

Lope sekebon buat kalian❤

Hiraeth [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang