Tak Pernah Pergi

9.3K 1.2K 943
                                    

Lagu di media disarankan diputer pas baca chapter ini :)

***
"Kapan terakhir kali jalan-jalan ke Jogja malam hari? Ini hawanya lagi enak buat nongkrong bareng temen, bareng pacar atau mungkin pacar temen... haha"

Narasi itu terputar di radio mobil Sam. Senyum geli terlihat di balik kemudi, sepanjang jalan menuju daerah Kampus Gajah, almamaternya. Setelah sekian lama hidup buat laut, akhirnya Sam memutuskan buat menetap di Jogja sampe ada kegiatan volunteer lagi yang lebih seru. Tentu ini permintaan Bapak dan Ibunya yang kangen banget liat Sam di rumah.

Malam ini, dia janjian sama seseorang yang terakhir ketemu sekitar lima bulan lalu. Orang yang sama-sama menahan rindu yang tanpa jeda ke Andreas. Tapi rasanya, kini mereka coba buat menghormati dan memahami keputusan Andreas buat menghilang sementara waktu. Sebagai gantinya, Sam coba buat melengkapi kepingan yang hilang itu, mencoba sedekat mungkin sama Mamanya Andreas, paling nggak sampe cowok keras kepala itu balik.

Dan kejadian langka banget, Sam akhirnya memberanikan diri buat keluar malem, naik mobil pribadi yang dihadiahkan Bapak setelah Sam sembuh beberapa bulan lalu. Selain itu, Bapak juga ngasih izin cowok itu buat nyetir sendirian, nggak kayak dulu, kemana-mana dianter.

"Bener banget Rio, nah ini cocok banget sama lagu hasil request kak Sinta di Banguntapan. Kita dengerin Dere yang judulnya 'Kota', Pemuda FM check this out!"

Ah lagu favoritnya Sam! Di lampu merah, Sam agak naikin volume radionya. Lagu yang bener-bener ngegambarin keadaannya sekarang. Trans Jogja, angkringan, warmindo, bahkan museum seni, semuanya terputar kembali di ingatannya yang mulai tegar dan kokoh membiarkan memori manis dan pahit tentang dia dan Andreas masuk tanpa permisi. 

Udara mana kini yang kau hirup
Hujan di mana kini yang kau peluk
Di manapun kau kini
Rindu tentangmu tak pernah pergi..

Sam ngehela napas. Jalanan Jogja sehabis hujan malem itu emang nggak terlalu rame. Tapi rasanya mobil yang dikemudikannya nggak kunjung sampai. Mungkin selain Andreas, dia juga kangen Mamanya Andreas yang udah dia anggep sebagai mamanya sendiri.

Akhirnya dia sampai ke sebuah hotel bintang 4 yang satu jalan sama almamaternya. Setelah parkir, dia masuk ke coffee shop lantai satu deket lobby. Dia ngeliat seorang perempuan paruh baya berambut panjang yang gayanya jauh lebih muda dari umurnya.

"Mama?"

Perempuan itu nyambut Sam dengan pelukan hangat. Pelukan penuh perhatian dan kasih sayang. "Kata Ibumu, kamu bawa mobil sendiri? Bagus deh, udah berani ya sekarang nggak dianter bapak lagi," Mamanya Andreas ngusap pipi Sam yang sekarang senyum lebar. Ya, selain Sam, sekarang Mamanya Andreas juga deket sama Bapak dan Ibunya. "Udah yok sekarang mau pesen apa? Honey Latte di sini enak banget, pastry-nya juga,"

Sam ngangguk. "Boleh, aku ngikut Mama aja,"

Keduanya ngobrol bentar, update kehidupan masing-masing. Mamanya Andre kebetulan lagi ada proyek di Museum Ulen Sentalu tiga hari. Pameran seni gitu, join sama kampus seni di Jogja. Nah beliau ngisi seminar tentang seni dan masyarakat. "Kalo mau dateng nanti bilang Mama, nanti Mama kasih tiket gratis sama katalognya sekalian. Kamu pasti suka deh topiknya,"

"Ah iya, mungkin besok Sam dateng sama Bapak." Sam menyeruput kopinya. "Gita apa kabar Ma?"

Tatapan Mama langsung melunak pas ngomongin tentang Gita. Ya, walau bukan darah dagingnya, sekarang Gita udah sedekat nadi kayak anaknya sendiri. "Gita nggak pernah berhenti buat belajar, kayaknya dia bakal mirip sama Andreas. Cita-citanya jadi arsitek juga walau matematikanya jelek," Mama emang nggak pernah berubah. Masih suka ngediss anaknya dari dulu. "Tapi bakat seninya makin keliatan sih. Bahkan kalau dia nggak lucky dan nggak diterima di jurusan arsitektur, Mama coba motivasi dia buat masuk ke Royal College of Arts,"

Muchas Gracias! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang