Pengumuman

72 34 99
                                    

Pagi hari nya, seperti hari-hari sebelum nya, Samara sudah siap dengan seragam yang melekat di tubuh nya.

Sandra tampak tidak mengomentari apapun yang Samara lakukan. Seperti saat ini, ketika Samara hanya menyisir rambut panjang milik Sandra yang tampak lurus.

Setelah semalaman mereka menghabiskan waktu dengan menceritakan berbagai hal, Sandra menyadari sesuatu. Samara tidak seburuk yang ia pikirkan.

Malah melihat Samara saat ini, terselip perasaan iba. Yah, meski Samara tidak menceritakan kisah hidup nya secara keseluruhan, Sandra cukup mengerti bagaimana rasa nya terlahir di keluarga yang tidak mengiginkan nya, bahkan di usia Samara yang terbilang muda, Samara sudah melakukan semua nya sendiri. Ditambah karakter Samara yang terbilang introvert pasti ia sedikit kesusahan dalam memiliki teman.

Tidak seperti Sandra, yang meski masih bergantung kepada kedua orang tua nya ia memiliki segudang teman yang setia berpihak kepada nya, meski Sandra sendiri tidak yakin apakah mereka semua benar-benar tulus atau tidak.

Maka dari itu, mulai saat ini Sandra sudah memutuskan untuk mempercayai Samara sepenuh nya.

"Sam, lo belom cerita soal siapa Damar, Naya, dan apa yang terjadi terakhir kali sebelum lo bisa bangun sebagai gue" tanya Sandra ketika Samara memasukan buku-buku pelajaran ke dalam tas milik Sandra.

"Mungkin, gue akan ceritain nanti"

"Curang"

"Lo juga belom cerita, soal—" Samara mengantung kan kalimat nya, tampak berpikir apakah seharusnya ia menanyakan perihal Kinara sekarang atau tidak.

"Soal apa?"

"Soal, kenapa lo benci banget sama Oma lo?"

"Ck, itu jelas. Karena dia selalu banding-bandingin gue sama si bocah ingusan, apapun yang gue lakuin gak akan pernah ada bagus nya di mata dia"

Samara hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala nya merasa takjub, dengan sebutan bocah ingusan yang di tunjukan untuk Theo, adik Sandra.

"Makan nya, lo harus buktiin kalo lo juga bisa lebih baik kaya Theo, San"

"Sam, lama-lama lo mirip kaya Oma tau gak! ngeselin"

Samara hanya tertawa pelan mendegarkan gerutuan yang di lontarkan oleh Sandra. Meski begitu ia cukup lega, karena sepertinya Sandra sudah tidak marah lagi kepada nya, dan bagus nya Sandra sudah lebih bisa menerima kehadiran Samara saat ini.

"Oh ya, soal gelang lo?"

Sandra memperhatikan gelang yang melingkar manis di pergelengan tangan kiri nya.

"Gak masalah, gue masih punya sisa lima mutiara lagi kan?"

"Tapi, San—"

"Udah gue bilang tenang aja, lo mending fokus cari orang yang sayang sama gue, melalui lo. Lo udah janji bakal bantuin gue"

Samara hanya berharap ia dapat melakukan yang terbaik.

***

"Arsen, nanti tolong lo yang ambil bola basket nya ya buat pengambilan nilai kelas kita"

"Iya nanti biar gue yang ambil"

"Thankyou Arsen" Tania, perempuan dengan rambut keriting sebahu nya kini tersenyum ramah ke arah Arsen dan setelah nya ia segera beranjak pergi menuju lapangan.

"Gih sana ambil, gue si mau ngadem di bawah pohon. Bye bye" Radit yang dari tadi berada di samping Arsen kini beranjak lebih dulu menuju lapangan menyusul teman-temannya yang lain. Dari pada ia harus membantu Arsen mengambilkan bola basket yang terletak di ujung koridor, akan lebih baik jika ia pergi duluan. Arsen pun hanya menggelengkan kepalanya melihat kepergian Radit.

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang