12

23 3 0
                                    

Sudah lima bulan berlalu, dan para santri kelas dua belas sudah sibuk mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti banyak ulangan disemester enam ini.

"Ustadzah mohon perhatiannya sebentar.." ucap Kamila pada santri - santri dihadapannya.

"Dua minggu lagi kalian akan banyak menghadapi try out dari sekolah mau pun dari kemendikbud, oleh karena itu, Ustadzah minta kalian untuk lebih tekun belajarnya, jangan main - main.. Ustadzah harap ketika kalian lulus dari sini, ilmu yang kalian dapat selama mondok disini bisa kalian sebarkan, kalian syi'ar kan dijalan Allah.. fahimtum?" Jelas Kamila.

"Fahimna.. Ustadzah.." jawab para santri dan tak lama bel istirahat pun berbunyi, para santri pun bubar untuk jajan.

"Ya Allah.. jadi ini rasanya memegang suatu amanah yang sangat besar tanggung jawabnya.." gumam Kamila didalam kelas sambil membereskan buku yang dia bawa.

"Terkadang amanah itu memang sangat berat, tapi ketika kita menyelesaikan amanah itu dengan baik, maka ada rasa kelegaan dan ketenangan dalam hati." Suara itu membuat Kamila kaget, membeku, karna setahu dia seluruh santri sudah keluar semua.

"Siapa itu?" Tanya Kamila.

"Suara hatimu." Jawab dia.

"Astaghfirullah.." ucap Kamila dan langsung pergi meninggalkan kelas terburu - buru. Seseorang menatap kepergiannya dari balik tembok pembatas dengan senyuman yang terukir jelas diwajahnya.

"Ana uhibbuka fillah.." ucapnya pelan.

***

Sore hari ini, pesantren sepi karena beberapa santri dan Ustadz juga Ustadzah sedang pulang kerumah karena hari ini adalah hari libur tahun baru. Tapi ada beberapa santri yang tak pulang kerumah karena beberapa alasan.

Ya Allah.. dimana tadi ana taro setempel pesantren? Kenapa jadi lupa begini.., batin Kamila begumam karena kecerobohannya. Kamila berjalan menuju kantor guru, tapi sesuatu membuatnya berhenti.

"Astaghfirullah.. afwan.. afwan.. ana gak sengaja.." ucap Kamila saat tak sengaja menabrak seseorang. Tapi tidak ada jawaban dari orang yang dia tabrak, Kamila pun bingung, dan tak berani mengangkat pandangannya karena dia tahu orang yang dia tabrak tadi adalah seorang lelaki.

"Saya permisi.. assalamu'alaikum.." pamit Kamila untuk melanjutkan perjalanannya menuju kantor guru.

"Wa'alaikumussalam.." jawab lelaki itu.

Kan.. dosa kamu Kamila.. pake acara nabrak laki - laki, kan.. ceroboh kali lah kau Kamila.., batin Kamila kesal karena tidak hati - hati saat berjalan sampai dia bertabrakan sama yang bukan mahramnya.

"Tunggu, Ustadzah!" Suara itu membuat Kamila memberhentikan langkahnya dan dia mendengar suara langkah kaki mulai mendekat dengannya.

"Tadi saya, nemuin ini ditaman, terus saya bingung mau balikin kesiapa, untungnya saya bertemu Ustadzah disini." Kata lelaki itu sambil memberikan benda yang sedari tadi Kamila cari.

"Alhamdulillah.. ketemu juga.. syukron yaa.." ucap Kamila sambil menundukkan kepalanya dan lelaki yang lebih tinggi darinya pun menundukkan kepalanya untuk menghindari kontak mata diantara mereka.

"Abi Nahid ada dirumah, tidak?" Tanya lelaki itu.

"Ada.." jawab Kamila singkat.

"Saya boleh bertemu sama Abi Nahid?" Tanya lelaki itu lagi.

"Boleh.. mari saya antar." Kata Kamila, lalu meminta lelaki itu untuk jalan dihadapannya. Karena tak pantas jika lelaki berjalan dibelakang wanita, kerena secara tidak langsung lelaki itu akan melihat lekuk tubuh wanita didepannya, makanya Kamila menyuruh lelaki itu berjalan terlebih dahulu.

"Assalamu'alaikum.. Abi.." ucap Kamila saat masuk kedalam rumah dan mencium punggung tangan ayahnya.

"Wa'laikumussalam.." jawab Abi Nahid.

"Abi.. ada tamu, mau ketemu Abi." Kata Kamila.

"Suruh dia masuk." Pinta Abi Nahid, lalu Kamila pun pergi keluar untuk mempersilahkan tamu Abinya itu untuk masuk.

"Assalamu'alaikum, Abi.." ucap lelaki itu.

"Wa'alaikumussalam, eh Ikhsan.. duduk, nak.. ada apa?" Kata Abi Nahid. Ikhsan pun duduk dihadapan Abi Nahid dan Kamila pun pergi kebelakang untuk membuatkan teh untuk Ikhsan dan Abi Nahid.

"Ini kenapa cucian piring numpuk banget?" Bingung Kamila saat melihat tumpukan piring didalam tempat cuci piring. Akhirnya Kamila memutuskan untuk mencuci piring yang menumpuk itu baru dia membuat teh.

"Alhamdulillah.. selesai juga.. tumben banget Umi gak dirumah.." saat Kamila selesai dia pun lanjut untuk membuat teh. Setelah teh siap, Kamila pun mengantar dua teh diatas nampan itu kedepan.

"Ya Abi, setuju.. jika memang itu menjadi keputusanmu.. tapi Abi minta kamu yakinin lagi keputusanmu itu.." kata Abi Nahid yang terdengar oleh Kamila. Kamila sempat mengurungkan niatnya untuk menghidangkan teh itu, tapi kan gak baik kalau tamu tidak dihidangkan apa - apa. Akhirnya Kamila pun jalan menuju ruang tamu, lalu menaruh teh itu dihadapan Abi Nahid dan Ikhsan dan mempersilahkan untuk diminum.

"Abi, Umi kemana?" Tanya Kamila.

"Tadi kepasar sama Zahra.. tapi udah lama gak pulang - pulang.." jawab Abi Nahid.

"Ikhsan.. diminum tehnya." Kata Abi Nahid, Ikhsan pun meminum teh itu perlahan, karena teh itu panas.

"Nak, kamu duduk disini.. temani Abi.." pinta Abi yang dituruti oleh Kamila.

"San, kurang lebih 5 bulan lagi kamu lulus dari pesantren ini.. apa kamu sudah punya rencana ingin apa?" Tanya Abi Nahid.

"Sepertinya Ikhsan akan mengabdi dulu disini, sampai niat Ikhsan tercapai." Jawab Ikhsan membuat Abi Nahid tersenyum tipis.

"Sebentar Abi mau ambil sesuatu, dibelakang." Pamit Abi Nahid meninggalkan Kamila dan Ikhsan berdua. Ruang tamu pun senyap, seperti tidak ada orang disana.

"Ekhem.. Ustadzah.. saya mau tanya, boleh?" Izin Ikhsan.

"Iya, boleh.." jawab Kamila.

"Dipesantren ini ada gak, Ustadz atau Ustadzah yang nikah sama santri?" Tanya Ikhsan dengan polosnya membuat Kamila tertawa kecil.

"Buat apa kamu tanya pertanyaan yang tak penting untuk kamu tau.." balas Kamila menggelengkan kepalanya pelan.

"Saya cuma mau tau aja.. soalnya saya liat Rozak suka sama Ustadzah." Kata Ikhsan santai membuat tawa Kamila terhenti.

"Ikhsan.. disini memang ada Ustadz dan Ustadzah yang menikah dengan santri yang sudah lulus disini.. tapi kalau masalah Rozak suka sama saya, itu bukan urusan saya, karna kata suka, mengandung banyak arti.. gak bisa langsung diasumsikan menjadi cinta." jelas Kamila panjang lebar dan Ikhsan mengangguk paham.

"Kalau ada anak santri melamar Ustadzah, gimana?" Tanya Ikhsan lagi.

"Saya serahkan segalanya sama yang Maha Pemberi Petunjuk, yaitu Allah." Jawab Kamila. Tak lama Abi Nahid pun kembali membawa kain sorban berwarna hitam dan memberikannya pada Ikhsan. Dengan sungkan, Ikhsan mengambil pemberian Abi Nahid dan tak lama dari itu dia pamit untuk bersiap sholat maghrib.

PENYEMPURNA IMANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang