15

11 1 0
                                    

Tibalah dimana saatnya ujian kelulusan untuk anak kelas dua belas dan kelas sembilan di pesantren Al - Malik. Para santri sedang bersiap untuk mengerjakan soal ujian umum hari ini.

"Jaaz, antum catet gak rumus kimia itu?" Tanya Abdul.

"Yang mana?" Tanya Ijaaz.

"Yang itu.." jawab Abdul.

"Yang mana? Rumus kimia mah banyak yang ana catet." Kata Ijaaz.

"Yang itu.." balas Abdul membuat Ijaaz kesal.

"Kau ini.. bikin orang emosi aja lah.. rumus kiama tuh banyak.. kau kalo bicara yang jelas! Bahlul kali lah.." omel Ijaaz.

"Eta yang dua minggu kemarin Jaaz.." jawab Abdul sedikit terkekeh.

"Tinggal ngomong itu pun susah kali, ganggu aja kau orang lagi belajar." Gumam Ijaaz yang terdengar oleh tiga temannya, mereka pun terkekeh bersama.

"Nah.. tau tak kau.." ejek Umar dengan mengikuti logat medan.

"Diam, kau! Eh.. antum diem.. nanti ketahuan Gus Farhan ngomong bahasa lain selain Arab, Inggris dan bahasa Indonesia yang baik di jam belajar, nanti kena hukuman." Ucap Abdul.

"Tuh.. denger, Jaaz.." balas Umar mengejek.

"Iya lah tuh.. terserah lah.." kesal Ijaaz dan melanjutkan aktivitasnya kembali.

"Assalamu'alaikum.." ucap Gus Farhan memasuki ruangan ujian yang terdapat anak kelas IPA 2.

"Wa'alaikumussalam.. Gus Farhan.." jawab para santri.

"Baik, saya akan menjadi pengawas diruangan ini sampai mata pelajaran ujian hari ini selesai, Fahimtum?" Kata Gus Farhan.

"Fahimna.." jawab para santri.

"Kenapa harus Gus Farhan yang jadi pengawas disini dah.. kagak bisa nanya.." kesal Umar dengan suara pelan.

"Mana ana tau.. tanya aja sama Gus Farhan kenapa ngawas disini.." balas Abdul santai.

"Kenapa, Abdul?" Tanya Gus Farhan karena mendebgar suara Abdul.

"In-"

"L-la.. la, Gus.. Abdul cuma mau minjem pensil tadi.. nih Dul.." potong Umar dengan cepat karena Abdul anaknya sangat polos.

"Ya sudah, hari ini ujian dengan mata pelajaran kimia dan fisika, untuk pertama yang saya bagikan adalah mata pelajaran kimia dengan jumlah tiga puluh lima soal pilihan ganda dan lima soal essay dengan waktu pengerjaaan soal seratus dua puluh menit, fahimtum?" Jelas Gus Farhan.

"Fahimna.." jawab para santri.

"Isna, silahkan bagikan soal ke santriwati dan Ijaaz bagikan soal ini ke santriwan." Perintah Gus Farhan dan langsung dilaksanakan.

Sudah enam puluh menit berlalu, para santri kelas IPA 2 masihengerjakan soal ujian kimia.

"Jaaz, nomor sembilan belas, jawabannya, apa?" Tanya Umar dengan pelan. Karena saat ujian, para santri tidak duduk satu meja berdu, jadi mereka duduk satu meja sandiri, dan Umar duduk di seberang meja Ijaaz makanya dia bisa bertanya walau hatinya deg degan.

"Gak, tau.. itu masih ana kosongin, soalnya ana lupa rumus atom." Jawab Ijaaz pelan.

"Ijaaz.. Umar.. kalau gak mau ikut ujian silahkan keluar.." kata Gus Farhan tegas.

"Afwan, Gus Farhan.." ucap Ijaaz dan Umar.

Salah satu santriwan pun berdiri, dan membawa lembaran kertas ujian kedepan, dan itu sukses membuat para santriwan yang melihatnya tercengang.

"Gus, saya sudah.." ucap santriwan itu.

"Mau cek lagi?" Tanya Gus Farhan.

"La, Gus.. saya sudah yakin dengan jawaban saya.." jawab santriwan itu.

"Na'am..." balas Gus Farhan sambil tersenyum tipis.

"Ya sudah, antum tunggu diluar.." kata Gus Farhan.

"Na'am Gus.. assalamu'alaikum.." pamit santriwan itu.

"Wa'alaikumussalam.." jawab Gus Farhan sedikit menampilkan senyumnya lagi.

Ditaman seseorang sedang meperhatikan seorang gadis cantik yang sedang bermain dengan anak - anak kecil. Pemandangan itu mengukir senyum tulus di wajah seseorang itu.

Ya Allah izinkanlah hamba Mu untuk memilikinya seumur hidup hamba, Ya Allah.., batin seseorang itu meminta kepada Sang Pemililik alam semesta dan isinya.

"Assalamu'alaikum!" Ucap Umar membuat Ikhsan terkejut.

"Astaghfirullah hal'adzim.. wa'alaikumussalam.." kaget Ikhsan.

"Afwan.. afwan.. hehe.. makanya jangan ngelamun.. gak baik.. emang liatin apa, sih? Kayaknya indah banget sampe seorang Ikhsan yang gak banyak bicara dan dingin ini tersenyum.." goda Umar.

"Ana liat bunga - bunga di taman udah pada mekar.." elak Ikhsan.

"Iya.. ini lagi musim bunga pada mekar." Kata Umar.

"Oh iya.. antum kan anak baru sembilan bulan disini, antum tau Ning Kamila, gak?" Tanya Umar.

"Na'am." Jawab Ikhsan.

"Nah, ada satu kisah tentang Ning Kamila yang ana liat sendiri dan nyata." Ucap Umar membuat Ikhsan bingung.

"Ning Kamila selalu menolak lamaran yang datang untuk beliau." Ikhsan pun menunggu Umar melanjutkan pembicaraannya.

"Dan itu buat orang - orang juga bingung, karna banyak yang melamar Ning Kamila tapi semua ditolak, padahal yang ngelamar Ning Kamila itu bukan orang sembarangan.. yang ngelamar Ning Kamila itu Ustadz, Habib bahkan anak dari pemuka agama yang terkenal.. tapi tetep aja di tolak." Sambung Umar.

"Ustadz - Ustadz disini juga ada yang menaruh hati kepada Ning Kamila, tapi mereka mikir - mikir kalo mau ngelamar Ning Kamila, karna itu.. dan sampai sekarang belum ada yang tau kenapa Ning Kamila menolak lamaran - lamaran itu." kata Umar.

"Mungkin gak cocok sama beliau." Balas Ikhsan cuek sambil membaca buku.

"Yaa.. mungkin.." kata Umar santai dan tak lama Ikhsan dan Ijaaz pun datang dan mereka pun membahas tentang materi fisika nanti yang akan menjadi soal ujian.

PENYEMPURNA IMANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang