Caca benci orang yang melanggar janji. Karena janji di matanya bukan sebatas kalimat penenang saja, bukan sebatas janjian biasa. Janji berarti harus ditepati dan itulah yang Caca inginkan. Kadang ia merasa tidak adil terhadap dunia, kalau cuman ia yang memegang prinsip itu. Kalau cuman ia yang bisa menghargai manusia.
Sekarang, tangannya ditarik secara paksa juga kasar oleh cowok itu. Entah apa yang ia pikirkan juga entah apa yang bisa membuatnya semarah itu.
Caca sedari tadi memberontak tapi tenaga Gavin lebih besar. Bisa Caca pastikan, tangannya sudah memerah sekarang. "Gavin! Lo mau bawa gue ke mana hah?!" ucap Caca marah sambil terus memberontak.
Gavin memberhentikan langkahnya, melepas genggaman itu secara perlahan yang langsung membuat Caca melepaskannya dengan cepat. Ia menatap tangannya itu, yang sudah memerah. "Sakit," lirih Caca, "lo gila ya! Udah dateng telat, malah narik-narik ga jelas! Lo kira ini ga sakit hah?!"
"Sakit?" tanya Gavin sambil meraih tangan Caca lagi yang langsung ditepiskan gadis itu.
"Lo bilang, lo bakal dateng jam sembilan. Mana?!" ucap Caca yang sudah terkuasai oleh amarah, "pembohong"
"Ca, gue bisa jelasin--"
"Jelasin apa hah? Lo ga tepat janji, tapi lo datang ke mall itu maksudnya apa?"
"Lo tadi janjian sama Alvin di sini?" tanya Gavin yang jauh berbeda dari apa yang sedang dibahas.
"Maksud lo? Gue nanya, harusnya di jawab! Masalah Alvin itu ga penting."
"Penting. Lo jalan sama dia? Udah beli bukunya?" tanya Gavin sambil melihat kresek di tangan Caca.
"GAVIN!" bentak Caca. Untung mereka sedang di tempat sepi, yang membuat Caca leluasa menumpahkan amarahnya.
"Jawab gue," lanjut Caca, "lo ke mana?"
"Ghea sakit, dia dirawat semalem. Gue baru sempet pulang jam tujuh. Hape gue mati total. Dan ini gue baru selesai mandi, ke rumah lo, lo ga ada di sana. Nyokap lo bilang, lo udah pergi duluan dan," jeda, "nyokap ngasih tau, lo ada di sini. Taunya lo lagi jalan sama Alvin."
"Ya walau gue bersyukur lo gampang ditemuin," lanjut Gavin, "pertanyaan gue sekarang. Lo janjian sama Alvin di sini? Dan oh ga, sorry udah narik lo kenceng banget. Masih sakit?"
Gavin melirik Caca dengan rasa bersalah, tangan gadis itu terus-terusan Caca genggam dan ia elus, mungkin sakit, sakit sekali. Entah, Gavin juga tidak tahu, kenapa bisa ia semarah itu.
"G-Ghea sakit?" tanya Caca. Hatinya serasa ditusuk panah mendadak, ia merasa bersalah sudah memarahi Gavin habis-habisan. Bahkan cowok itu sempat datang ke sini, disaat mungkin ia tidak cukup tidur semalam.
"Iya," balas Gavin.
Caca menghela napasnya. "Gue ga janjian sama Alvin. Kita ketemu, dan daripada gue sendirian, gue jalan sama dia. Dia juga ngintil gue mulu. Juga soal tangan," jeda, "masih sakit."
Gavin meraih tangan Caca, perempuan itu ingin kembali menarik tangannya tapi Gavin bilang, "Sebentar, sebentar aja."
Gavin meneliti tangan Caca, yang pergelangannya memerah itu. Ia pegang perlahan, sambil bertanya, "Sakit banget?"
Caca menggeleng. "Udah reda," balasnya lalu segera menarik tangannya lagi.
Sedangkan Gavin lagi dan lagi menarik tangan Caca, menggenggamnya dengan nyaman. Sampai ia elus perlahan, yang membuat amarah Caca mereda. "Maaf ya? Maaf udah narik tangannya kenceng-kenceng. Maaf udah ngga nepatin janji. Lo mau maafin gue kan Ca?"
"Gue ga tahu alasan lo, kenapa bisa semarah itu. Tapi soal janji, gue maafin," ucap Caca, "gue ga tahu kalau Ghea sakit. Pasti lo juga ga tidur nyenyak kan? Atau belum sarapan kan? Harusnya lo bilang ke gue Vin. Gue jadi ngerasa bersalah tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
gavinca: Puppy Love
Teen Fiction-Ketika sapaan itu menjelma kebiasaan yang menjadikannya sebuah kerinduan.- Gavin, manusia yang entah asal muasalnya tiba-tiba datang, menyapa tanpa henti, tanpa letih, tanpa lelah gadis cantik yang terjebak di hujan. Katanya, ia mau jadi hujan, ti...