~ happy reading ~
Entah sejak kapan rasa risih itu menghilang. Entah sejak kapan Caca tidak merasa aneh jika Gavin sudah memulai godaan, gombalan lainnya. Entah juga sejak kapan, Caca malah semakin nyaman berteman dengan Gavin padahal tahu cowok itu suka dengannya.
Bahkan mau menuruti maunya, mau tertawa dengannya adalah level berikutnya dari pertemanan antara Gavin dan Caca.
Seperti menanam cabai contohnya. Caca tidak habis pikir kenapa dia mau melakukan kegiatan ini, bahkan menaruh janji kepada Gavin seolah hal ini cuman hal kecil.
Nyatanya kan, membeli pupuk dan kawan-kawan bukanlah hal mudah. Kata orang di youtube sih, cabai bisa tumbuh dengan sendirinya kalau ditebar begitu saja.
Tapi Caca tidak mau begitu, itu artinya persentase muncul ke atas sedikit. Jadi dia dengan niatnya, membeli pot kecil berbentuk kotak bewarna putih, untuk tiap-tiap bibit cabai.
Memasukan pupuk juga tanah ke dalam di barengi benih cabai itu.
Seseorang berteriak dari arah pintu, memanggil Caca. "Lo ngapain sih?! Gue panggilin ga nyahut!" protes Nevan yang lalu jongkok di samping Caca.
"Bisa lihat kan? Lo kalau mau bantuin aja deh, ga usah banyak protes gitu. Emang lo mau apa hah?"
"Mau gossip," ucap Nevan sambil mengambil bungkus benih cabai yang sudah kosong isinya, "cabai? Sejak kapan lo mau jadi tukang sayur. Sumpah orang-orang di rumah lagi aneh banget."
"Aneh?" tanya Caca.
Nevan memotret Caca beberapa kali dengan ponselnya yang membuat gadis itu bingung. "Buat apa?" tanya Caca.
"Buat dikirim ke grup keluarga. Kan enak nih bukan hoaks, tapi nyata. Biar mereka mulai peduli sama anak bungsunya yang mulai stres."
Nanem cabai dibilang stres? Caca tidak bisa mengerti pikiran cowok ini. "Ca, Arsen senyam-senyum sendiri tadi di kamar. Senyumnya ke hape!" ucap Nevan, "gue juga poto. Tapi dia ga sadar. Nih liat."
Caca melirik ke ponsel Nevan, tapi bukan gambar Arsen yang membuatnya terkejut. Melainkan notifikasi di ponsel cowok itu. "Sayang?" tanya Caca.
"Hah? Apasi Ca--"
"Vio? Cewek lo? Lo punya cewek?!"
Nevan segera melihat ke ponselnya lalu melupakan Caca, membuat gadis itu tertawa geli dan kembali dengan aktivitasnya.
Kemarin setelah dari tempat jogging, Gavin mengajak Caca keliling kota. Menghabiskan film kamera analognya, memotret tiap ujung kota bahkan ada satu foto yang memotret mereka berdua.
Bukan Caca yang mengambil itu, tapi Gavin. Tidak terlalu bagus karena Caca sedang cemberut, tapi yasudahlah mau bagaimana lagi.
Dan ada satu pertanyaan yang terus ditanyakan cowok itu, "tipe idaman cowok Caca gimana? Kemarin jawabnya ga jelas."
Ternyata Caca baru tahu alasan kenapa Gavin menanyakan perihal itu saat di pasar malam sekarang. Ya waktu itu sih, Caca belum tahu Gavin menyukainya. Kalau sekarang sih sepertinya pernyataan itu sudah menjadi rahasia umum.
Dan Caca saat itu cuman menjawab simple, "Yang nyaman aja. Karena jodoh mah ga ada yang tahu. Maunya yang humoris nanti datengnya yang dingin. Yang penting nyaman, kalau udah gitu yaudah. Gue juga bakal langsung suka dia."
Kalimat terakhir jujur masih omong kosong sekarang, nyatanya ia masih tidak berani jujur akan perasaannya. Tidak berani lagi ritual memejamkan mata seperti yang diajarkan Regina.
Karena terakhir dia melakukan itu, yang muncul hanya wajah Gavin yang salah tingkah saat memuji Caca cantik atau lagi Gavin yang sedang menyanyikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
gavinca: Puppy Love
Teen Fiction-Ketika sapaan itu menjelma kebiasaan yang menjadikannya sebuah kerinduan.- Gavin, manusia yang entah asal muasalnya tiba-tiba datang, menyapa tanpa henti, tanpa letih, tanpa lelah gadis cantik yang terjebak di hujan. Katanya, ia mau jadi hujan, ti...