(20) Kekesalan Yang Memuncak

43 11 0
                                    

Kadang cinta membingungkan, menyakitkan, menyeramkan. Tapi pada dasarnya ia tetap dan akan selalu menjadi menyenangkan.

Kalimat Xelio yang menyatakan perasaannya tadi terus-terusan berbunyi di kepala Caca. Andai saja lelaki itu tidak tertawa setelahnya, lalu bilang, "Bercanda, mukanya merah banget."

Mungkin Caca tidak akan merasakan moodnya runtuh seketika. Ternyata efek sampingnya masih sama, Xelio masih memiliki tempat yang besar dihatinya.

Caca menghafal, mencatat dan mengejarkan apapun yang ia bisa kerjakan sekarang. Bahkan Achilla menatapnya bingung. "Caca kenapa?" tanya Achilla.

Caca menggeleng dan terus memecahkan soal bahasa indonesia di hadapannya. Ia mengejarkan seluruh soal yang terlihat di matanya, Caca sangat kesal jadi Caca butuh pelampiasan.

Jadi kalau ia tidak bisa marah, maka ia akan mengerjakan soal yang mudah agar mengurangi kekesalannya. Bisa gaswat kalau dia mengerjalan matematika, bukannya reda kesalnya ia malah lebih marah lagi.

"Caca kenapa?" tanya Achilla lagi.

"Biarin aja, doi lagi membakar seluruh semangatnya. Biasa anak pinter," jawab Regina sambil menghadap ke belakang, ke meja Caca. Sambil ia pegang chiki di tangannya yang terus ia lahap.

Caca menaruh pensilnya, ia lelah. "Kalau lo marah, biasanya lo ngapain?" tanya Caca.

"Kenapa? Lo marah ya Ziva gatel banget sama Gavin? Aah, dia hari ini nempel banget sama itu cowok. Gavin juga tumben lagi ga marah."

"Ziva? Emang biasanya Gavin marah?" tanya Achilla.

Regina menggeleng. "Ngga sih. Tapi kan seengaknya, dia bakal milih sama Caca dibanding Ziva."

Emosi Caca semakin membara. Cowok itu, Gavin Maheswara. Cemen banget dia kalau langsung nyerah dan berhenti mengejarnya, harusnya menurut Caca cowok itu malah mengejar Caca habis-habisan. Agar ia tidak kalah oleh Xelio, kalau gini ceritanya kan---

Caca langsung menggeleng kepalanya. Sejak kapan ia jadi mengharapkan Gavin mengejarnya? "Ca, Gavin lagi di taman belakang sih gue liat. Galau dia. Lo ada masalah ya sama dia?" tanya Regina.

Caca mengangguk. "Gavin cemen, nyebelin. ISH NYEBELIN!"

Regina menatap Caca bingung, juga Achilla dan Putri yang sedari tadi diam. "Kenapa?" tanya Achilla.

"Ya cemen aja. Mana sih anaknya hah?! Sekalian gue lampiasin semua kekesalan gue ke dia. Di taman belakang ya? Oke gue otw!" ucap Caca lalu berdiri dari duduknya dan berjalan cepat mengarah ke taman belakang sekolah.

"Gue temenan sama Caca, tapi ngerasa jauh sama dia," ucap Putri.

Achilla dan Regina segera menjadikan perempuan itu pusat perhatian. "Maksud lo?"

"Seengaknya dia bakal ngadu ke kita kan apa yang terjadi? Gin, Cil, lo nyadar ga sih, Caca jarang cerita? Dia cuman kesel tiba-tiba, terus ntar ngegalau atau ga, seneng. Tapi kita ga tahu kenapanya."

Achilla menunduk, sedih. "Iya ya, dia suka cerita sih kadang. Tapi ga detail. Chilla baru ngeh."

"Perasaan lo aja kali. Udah ga usah terlalu dipikirin, yang asal kita tetep selalu ada buat Caca. Mungkin ada beberapa hal yang memang ga harus kita tau, iya kan?" ucap Regina.

"Termasuk kebahagiaan?" tanya Putri.

"Ya lo ga tahu, kali Caca abis cepika cepiki sama Gavin. Terus dia seneng. Kan malu cerita ke kita."

"Ga cepika cepiki juga," balas Putri.

"Ga ada yang tau kan?"

"Apa sih cepika cepiki?" tanya Achilla.

gavinca: Puppy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang