Pukul tujuh lewat tiga puluh Aletta sudah bersiap-siap dengan seragam sekolahnya. Gadis itu terlihat santai, tidak peduli dengan waktu yang sudah sangat telat untuk pergi ke sekolah. Ia melangkahkan kakinya menuruni tangga, menuju dapur untuk sarapan. Namun, rasa lapar yang sudah ia tahan dari semalam seketika menghilang entah kemana ketika melihat momen keluarga bahagia terpampang jelas di matanya.
Adrian beserta ibu dan saudara tirinya sarapan di penuhi dengan canda tawa. Terlihat sangat bahagia, walaupun dirinya tidak berada di antara mereka. Ia sedikit bingung kenapa Gisel tidak ke sekolah. Apa gadis itu sakit? Tetapi dia terlihat baik-baik saja. Ah, dia tidak ingin memikirkannya. Aletta berjalan dengan kepala menunduk, tidak ingin melihat kebahagiaan sang ayah tanpa dirinya, itu hanya akan membuat rasa iri di hatinya hadir. Lebih baik ia pergi ke sekolah dan merecoki Alvanza, itu lebih baik daripada berdiam diri seperti sekarang.
"Mau kemana kamu?" tanya Adrian ketika sang putri melewati mereka begitu saja.
"Mau mau ke sekolah, Pa."
"Tunggu, saya mau bicara sama kamu." Adrian menatap sang putri dengan sorot mata tajam
Aletta mengangguk, lalu mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Delanda- ibu tirinya. "Papa mau bicara apa sama Letta?"
"Kenapa kamu mukul mama mu?" tanya Adrian to the point.
"Mukul mama? Perasaan gak ada deh, Pa. gimana juga caranya Letta mukul Mama. Mama aja udah gak ada, lagian kalo Mama masih ada, Letta gak akan berani mukul Mama. Yang ada Letta di kejar pake sapu seharian."
"Aletta, kenapa kamu gak pernah anggap Mama seperti ibu kandung kamu sendiri? Padahal Mama udah anggap kamu sama seperti Gisel. Kamu sudah seperti anak kandung saya, Aletta."
"Ya elah drama nya mulai lagi," batin Aletta. " Maaf ya Tante. Tante bilang udah nganggap saya seperti anak kandung sendiri? Terus, tadi malam kenapa Tante nampar saya? Mana saya di suruh ngerjain pekerjaan rumah lagi. Emangnya saya pembantu?"
Mendengar perkataan anaknya yang tidak sopan, membuat emosi Adrian tersulut. Namun, masih bisa ia tahan untuk mendengar semuanya.
"Mama, gak pernah benci sama kamu Aletta. Kapan Mama nampar kamu? Yang ada Mama yang kamu tampar."
Aletta memutar bola matanya malas. Wanita itu selalu mengeluarkan air mata palsu, untuk menjatuhkannya di depan Adrian. ia benar-benar kagum dengan kemampuan akting wanita itu. "Emang ya, gelar wanita ular cocok banget buat Tante. Saya salut, sepertinya kalau Tante ikut kompetisi untuk menjadi pemain sinetron, Tante pasti menang."
"ALETTA, JAGA UCAPAN KAMU!!" bentak Adrian.
"Ucapan mana yang harus Letta jaga, Pa. Yang Letta bilang semuanya benar, Papa aja yang gak sadar sama kelakuan busuk mereka."
"DASAR ANAK KURANG AJAR KAMU!!" Tangan Adrian terkepal erat menahan emosi yang membuncah.
"Iya, memang Letta kurang ajar. Emangnya Papa pernah ngajarin Letta? Letta lihat selama ini Papa lebih fokus sama dua wanita ular ini dari pada anak kandung Papa sendiri."
"TIDAK TAHU DI UNTUNG KAMU!! KENAPA KAMU TIDAK MATI SAJA HAH!!"
Bentakan keras di iringi dengan tamparan yang mendarat di pipinya membuat Aletta sedikit terhuyung. Ia memegang pipinya yang terasa nyeri dan panas secara bersamaan.
"Bahkan, Papa tega nampar Letta anak kandung Papa sendiri, hanya untuk ngebela mereka. Ingat Pa, penyesalan selalu datang terakhir," ujar Aletta. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Matanya memancarkan luka yang mendalam. Namun, Adrian tidak bisa melihat itu, terlalu mencintai keluarga barunya membuat dirinya buta untuk sekedar melihat kesedihan yang di rasakan oleh putri semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVANTA
Teen FictionJatuh cinta dengan sahabat sendiri itu tidak enak, ya? Tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa menyangkal ketika rasa itu tumbuh secara perlahan. Aletta Regina Agustin namanya. gadis yang mencintai sahabatnya sendiri. Akankah cintanya terbalas? Atau...