Jika istirahat pertama ia berdiam diri di rooftop hingga membolos di jam pelajaran kedua bersama Kenzo. Maka saat ini Aletta bersemangat mengikuti pelajaran ketiga. Terbukti dengan seragamnya yang telah berganti dengan seragam olahraga, sedangkan teman-teman sekelasnya belum mengganti sama sekali.
Kebanyakan dari mereka terutama kaum hawa masih mengeluh karena tak ingin mengikuti pelajaran tersebut, mengingat materi yang akan mereka pelajari adalah pencak silat. Berbeda dengan Aletta yang telah berada di tengah lapangan sembari melakukan peregangan.
"Siapa yang mau lawan gue? Sini maju!" ujarnya seraya menendang serta memukul udara, membuat teman-teman sekelasnya menggeleng-gelengkan kepala sekaligus ngeri takut ikut di tendang. Sebagian memilih menjauhi gadis itu yang berada di tengah-tengah lapangan. Hingga Nathan memberi instruksi agar berbaris.
"Teman-teman. Hari ini pak Harry berhalangan hadir, jadi beliau nyuruh kita buat ambil nilai pencak silat. Gue sebagai ketua kelas yang bakal ngasih nilai sesuai yang ditentukan pak Harry. Apa ada yang perlu di tanyakan?"
Salah satu dari mereka mengangkat tangannya ke atas. "Ngambil nilainya gimana? Satu-satu atau pasangan?"
"Sesuai yang di tulis pak Harry, kita ngambil nilai dengan berpasangan. Jadi nanti kita ambil undian untuk memilih masing-masing lawan," balas Nathan mantap, mengundang protestan dari kaum hawa kecuali Aletta dan teman-temannya.
"Ga adil, dong, Than. Nanti kalo gue dapet lawan cowok gimana? Udah pasti nilai dia lebih tinggi dari gue yang ga bisa silat."
Nathan menghela napas lelah. Derita menjadi ketua kelas. Bukan hanya satu atau dua kepala yang akan ia ajak kerja sama melainkan dua puluh enam orang yang berbeda pemikiran, hal itu tentu saja menguras tenaga dan emosi. "Terus kalian maunya gimana? Di kelas kita cowoknya tiga belas gitu juga sama ceweknya. Kalau kalian mau pasangan cewek sama cewek atau cowok sama cowok nanti juga gak adil. Jumlah cewek sama cowok di kelas kita, kan, gak genap."
Aletta mengangkat tangannya, merasa jengah dengan perdebatan yang tak bermutu dari teman-temannya. " Kalo gitu pasangin aja cewek sama cewek atau cowok sama cowok. Gue gak keberatan, kok harus ngelawan cowok. Apalagi yang jadi lawan gue Arya, gue udah pasti seneng." Aletta tersenyum lebar di akhir kalimatnya sembari mengedipkan sebelah matanya pada Arya, yang mana membuat si target kejahilannya ingin kabur saat itu juga.
Sialnya, semua teman sekelasnya mengangguk mengiyakan usulan Aletta, membuat Arya memasang tampang memelas minta di kasihani. "Ini, mah, gak adil buat gue!! Gue gak mau yang jadi lawan gue Aletta, yang ada gue langsung di antar ke neraka jahanam!!"
"Lah, bukannya ke surga?" celetuk salah satu dari mereka.
Arya menggeleng. "Gue sadar diri, dosa gue banyak, jadi gak mungkin langsung masuk ke surga. Makanya harus di panggang dulu di neraka." Balasannya mengundang tawa dari orang-orang yang mendengarnya. Hal itu tak di ambil pusing oleh Arya. Toh, dia benar bukan?
Lagi-lagi Nathan menghela napas. Kali ini lebih berat. Akhirnya ia kembali bertanya. "Siapa yang mau suka rela jadi lawan Aletta? Kalau gak ada biar gue aja."
Tangan yang mengacung tinggi itu mengundang senyum lega dari Nathan. Ia selamat. Lagi pula ia juga takut jadi lawan Aletta yang terkenal beringas kalau sudah menyangkut silat atau ilmu bela diri yang lainnya. Ingat kan dia berterima kasih pada Arlando.
"Lo yakin, Lan?"
Arlando mengangguk mantap. Aletta yang berdiri di depan Arlando pun menoleh ke belakang dengan senyum lebarnya. "Kalo gue menang ngelawan lo, beliin gue boneka Chucky yang banyak," ujarnya sedikit berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVANTA
Teen FictionJatuh cinta dengan sahabat sendiri itu tidak enak, ya? Tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa menyangkal ketika rasa itu tumbuh secara perlahan. Aletta Regina Agustin namanya. gadis yang mencintai sahabatnya sendiri. Akankah cintanya terbalas? Atau...