Rendang.
Menu itulah yang harus Nadine bawakan weekend nanti. Tak tanggung, yang diminta Raka adalah rendang khas Minang yang kering dengan warna sedikit gelap. Sepertinya beliau ingin calon menantunya membuat masakan khas dari berbagai daerah.
Saat mengatakan itu kepada mamanya, Nadine seperti hendak menangis karena ingin menyerah.
"Kita beli di warung Sederhana aja, Ma. Rendangnya enak banget," usul Nadine cepat.
"Eh, gak boleh gitu. Kamu harus bikin sendiri. Nanti mama carikan resepnya di gugel," tolak mamanya.
Sebenarnya menu itu sudah biasa dimasak di rumah mereka, hanya saja dalam versi yang berbeda. Keluarga Nadine adalah keturunan suku Sunda sehingga rasa rendang yang dibuat agak manis karena menambahkan gula.
"Itu ngaduknya harus empat jam, Ma. Aku mana sanggup," keluhnya.
Wajah Nadine terlihat masam sejak tadi. Bahkan dia menghabiskan sarapan dengan ogah-ogahan. Padahal hari ini mamanya membuat nasi goreng lengkap yang menjadi favorit keluarga. Ayam goreng menteganya membuat Nabil melahap dua porsi tadi.
Nadine cukup sering makan di restoran Minang saat jam istirahat kerja. Dia juga sempat bertanya bagaimana proses pembuatan rendang, sehingga sedikit banyak mengetahuinya.
"Kita latihan aja dulu. Sabtu nanti mama yang beliin bahan-bahan. Kamu langsung praktik."
Mamanya Nadine menatap putrinya dengan lekat. Wanita itu menahan tawa sejak tadi melihat ekspresi putrinya yang terlihat lemas.
"Sabtu aku ke kantor, Ma. Ada pelatihan minggu ini."
"Sayang, ini demi masa depan kamu. Jangan sampai Janu jatuh hati dengan yang lain."
"Tapi, ini--"
Setelah perdebatan yang cukup panjang akhirnya Nadine menyerah. Dia segera berangkat ke kantor karena hampir terlambat. Hingga pukul lima sore gadis itu masih berkutat dengan pekerjaan dan melupakan rencana untuk memasak rendang.
***
"Kak, tunggu!" teriak Nadine ketika Niken hendak pulang.
"Apa, Cantik?"
Niken berbalik dan mendapati Nadine terlihat awut-awutan. Biasanya gadis itu akan selalu rapi dari pagi hingga petang. Entah mengapa kali ini wajahnya begitu kusut.
"Mau tanya," ucap Nadine dengan napas tersengal.
"Apaan?"
"Tau tempat jual rendang asli Minang yang enak?"
"Untuk?"
Nadine menarik bahu Niken dan membiskkan sesuatu yang membuat sahabatnya itu heran. Dua wanita itu tampak serius membicarakan sesuatu hingga begitu asyik dan hanya melambaikan tangan saat melewati security kantor.
"Beli aja di restoran. Banyak, kok," usul Niken.
"Tapi ... bakalan ketahuan gak, ya?" tanya Nadine ragu.
"Ya gak, lah. Daripada lu repot."
"Gue takut, Kak. Kalau sampai ketahuan nanti papanya Janu malah makin gak ngerestuin," ucap Nadine lemas.
Niken memeluk bahu sahabatnya dengan lembut sembari berkata sesuatu untuk menenangkan.
"Papanya Janu paling cuma ngetes kesungguhan lu. Pas terima gado-gado waktu itu, aman aja, kan?"
Nadine mengangguk, lalu mereka berjalan bersisian menuju parkiran. Sekarang, gadis itu sudah diizinkan mamanya membawa kendaraan sendiri.
"Semoga, Kak. Soalnya gue gak terlalu bisa masak. Semua mama yang ngerjain," keluhnya.
"Ya belajar, lah. Gimanapun sibuknya kerja, ntar kalau udah nikah ada saat kita main di dapur. Suami bakalan sama anak-anak bakalan seneng kalau masakan kita enak."
"Lu masak juga, Kak?"
Niken mengangguk, lalu menceritakan kesibukannya setiap hari. Walaupun tidak selalu ke dapur karena dia mempekerjakan beberapa orang ART. Namun, sesekali wanita itu akan membuatkan sarapan untuk keluarga saat weekend tiba.
"Kalau rendang gue nyerah, Kak. Goreng ikan masih boleh, lah."
"Kalau gitu, rendangnya beli aja dulu. Kalau pas diminta ikan goreng baru lu masak sendiri," saran Niken.
Nadine mengiyakan ucapan sahabatnya, lalu mereka berpisah. Gadis itu jalan lebih dulu karena menggunakan motor. Niken masih menerima telepon di mobil sehingga menunggu sebentar di parkiran.
Sepanjang perjalanan, Nadine melihat-lihat jika ada restoran Minang yang agak pinggiran dan berencana mencicipi satu per satu rasa rendangnya. Jika ada yang pas maka dia akan membelinya untuk bahan percobaan.
Saat akan berbelok ke sebuah jalan, matanya menangkap sebuah rumah makan Minang yang cukup ramai, walaupun tempatnya tidak terlalu besar. Gadis itu segera berbalik arah dan memutar jalan lalu mencari parkiran yang aman.
Setelah mematikan mesin, Nadine bergegas keluar dan langsung melihat menu yang tersaji. Aroma harum masakan membuatnya lapar. Dia langsung memesan aneka lauk dengan rendang sebagai pilihan utama.
Nadine memilih kursi kosong di sebelah sudut yang posisinya membelakangi jalanan. Jika duduk di sebelah depan, maka dia akan berhadapan dengan sekumpulan bapak-bapak memakai seragam dinas pemerintahan. Sejak awal gadis itu masuk tadi, mereka sibuk memerhatikan. Dia merasa agak risih.
Begitu pesanannya tersaji di meja, Nadine langsung mencomot rendang tanpa mencuci tangan. Dia sudah tak sabar ingin merasakan kelezatannya. Gadis itu terkejut saat mendapati rasa gurih yang berbeda dengan buatan restoran Minang langgannnya.
Rasa rendang itu agak unik, seperti ada parutan kelapa di dalamnya. Namun, semakin lama akan terasa enak di lidah. Nadine bergegas mencuci tangan di wastafel dan mulai menikmatinya. Hingga dalam sekejap, dua porsi nasi beserta lauk habis tak bersisa.
Nadine bersendawa cukup keras lalu menutup mulut karena malu terdengar pengunjung yang lain. Gadis itu juga mengusap perut karena kekenyangan.
"Berapa, Uda?" tanya Nadine saat handak membayar di kasir.
"Tujuh puluh ribu, Uni."
Nadine membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang berwarna merah.
"Eh, sekalian rendangnya dibungkus satu porsi bisa?"
Si Uda memberi kode kepada karyawannya untuk menyiapkan pesanan Nadine.
"Habis, Uda. Tadi ada ibu-ibu yang bungkus bawa pulang sisanya," jawab karyawannya.
Nadine merasa kecewa mendengar itu. Namun, dia berencana besok akan kembali lagi ke sini dan membelinya untuk dicicipi oleh mama. Rasanya tidak mungkin jika menanyakan resep karena itu pasti rahasia.
Setiap rumah makan pasti punya ciri khas sendiri. Jadi, Nadine berharap setelah merasakan rendang dari restoran ini, mamanya bisa mengira-ngira apa saja bumbunya.
"Besok saya ke sini lagi. Tolong simpenin dua porsi ya, Uda," bujuk Nadine.
Sikapnya yang begitu manis membuat pemilik restoran menjadi salah tingkah. Laki-laki itu benar-benar terhipnotis dengan wajah cantik Nadine.
"Siap, Uni. Mau beli tiap hari juga pasti ambo simpankan."
"Beneran, Uda?"
"Buat Uni apa yang tidak bisa. Kalau mau makan gratis juga boleh," balas si Uda menggoda.
"Wah mau, dong," ucap Nadine. Mata gadis itu berbinar karena mengira apa yang diucapkan oleh pemilik restoran itu benar adanya.
"Tapi ada syaratnya," ucap si pemilik restoran dengan genit. Lelaki itu menatap Nadine tanpa kedip karena mengagumi kecantikannya.
Nadine memberikan isyarat dengan mata sebagai rasa ingin tahu dari syarat itu.
"Syaratnya ... jadi istri ambo," ucap si Uda sembari mengulurkan uang kembalian.
Nadine tersenyum masam lalu mengambil uangnya dengan cepat. Tak dihiraukannya gelak tawa si Uda yang menggema. Gadis itu bergegas pulang karena hari sudah mulai gelap.
***
Up lagi. Semoga masih ada yang mau baca 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Dr. Jack
RomanceCerita ini menjadi 20 peserta terpilih dalam kompetisi Lovrinz Writing Challenge 2021. *** Janu, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang baru ditempatkan di sebuah rumah sakit swasta terkenal di ibukota. Sikapnya yang dingin dan cuek, membuat p...