8. Pedekatan

2.1K 118 7
                                    

Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Janu baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita patih baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar.

"Ini pasti calon ibu mertua," batin Janu.

Keluarga Nadine terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Janu yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu.

"Mama gak usah gitu juga kali," sungut Nadine saat keluar dan menghampiri mamanya.

"Mama pengen liat, siapa cowok yang nganter kamu pulang," bisik Ratih.

"Mama jangan norak, deh," ucap Nadine sembari memberi kode agar mamanya diam saja.

"Siapa dia? Kamu belum ngenalin ke mama."

"Saya Janu tante."

Tiba-tiba saja Janu menghampiri dan memperkenalkan diri. Dia meraih pungung tangan Ratih dan menyalaminya dengan hormat. Hati wanita paruh baya itu langsung meleleh. Apalagi sosok yang mengantar putrinya sangat tampan.

"Masuk dulu, yuk. Tante lagi bikin cemilan enak," tawar Ratih.

"Makasih, Tante. Tapi kayaknya saya langsung pulang. Udah mau gelap," tolak Janu halus.

Janu menjadi sungkan jika berlama-lama di sana, mengingat Nadine yang terlihat tak senang saat dia beramah-tamah. Dia tidak tahu, padahal gadis itu malu melihat kelakuan mamanya yang terlalu bersemangat.

"Lain kali kalau gitu. Kalau ke sini lagi."

"Iya, Tante. Kalau begitu, saya per--"

Ucapan Janu terhenti saat suara perutnya berbunyi. Nadine menahan tertawa saat mendengarnya. Sedangkan lelaki itu hanya bisa pasrah ketika tubuhnya tidak sehati dengan ucapan. Dia lapar.

Ratih menutup mulut karena terkejut, lalu dengan cepat mengambil inisiatif.

"Ayo, masuk dulu. Tante barusan bikin ikan bakar sama lalapan. Enak, deh."

Ratih menarik lengan Janu agar segera masuk. Sejak tadi mereka berdiri di depan pagar. Bahkan masuk ke halaman juga tidak.

Nadine akhirnya pasrah dan mengekori mereka. Sementara Janu asyik berbincang dengan mamanya. Mereka terlihat begitu akrab, seperti sudah kenal lama.

***

Suasana di ruang makan terasa canggung. Tidak ada satu orang pun yang bicara sedari tadi. Janu melirik ke arah Nadine. Namun, gadis itu cuek dan tetap makan dengan santai dan mengabaikannya.

"Nabil mana, Ma?" Suara menggelegar Raka mengagetkan semua orang.

Sendok makan Janu terjatuh karena gugup. Dengan cepat-cepat dia mengambilnya. Untunglah, Ratih begitu baik, sehingga segera menggantinya dengan yang baru.

Janu mencuri pandang ke arah Raka. Lelaki paruh baya itu hanya menatapnya sebentar kemudian melanjutkan makan. Nadine bukannya menolong, malah tersenyum diam-diam.

"Sukurin, makanya jangan ngatain Ndin terus. Tuh, kan digalakin sama papa."

Nadine tertawa jahat dalam hati dan melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sejak Janu datang, papanya sudah terlihat tidak senang. Apalagi saat mamanya mengajak laki-laki itu makan malam.

Hello Dr. JackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang