Nadine memencet bel rumah Janu dengan tangan gemetaran. Gadis itu menarik napas berulang kali sembari melantunkan doa, semoga hari ini semua rencananya berjalan lancar. Di tangannya kini ada sebuah boks berisi rendang sesuai dengan permintaan sang calon mertua.
Seorang ART membukakan Nadine pintu dan memintanya untuk menunggu sebentar.
"Eh, kamu udah datang."
Sarah menyambut Nadine dengan ramah di ruang tamu. Wanita paruh baya itu tampak cantik dengan blouse panjang berwarna biru laut dan rambut yang digelung. Dalam hati gadis itu berucap, pantas saja Janu begitu tampan. Mamanya saja tetap cantik di usia senja.
"Iya, Tante. Rendangnya udah masak," kata Nadine sembari menyerahkan boksnya.
"Ayo, kita makan bareng. Om udah nungguin," ajak Sarah.
Nadine tertegun, antara sungkan dan ragu. Lebih tepatnya mungkin takut karena jika salah berbicara atau bersikap, maka Anton akan berubah lagi. Dia sudah cukup nekat melakukan banyak kebohongan untuk mengambil hati mereka selama ini.
"Kenapa ngelamun? Kamu gak lapar? Ini udah jam makan siang. Pas banget, loh," ajak Sarah sembari menarik lengan Nadine.
Mereka berjalan bersisian menuju ruang makan. Jantung Nadine berdetak lebih kencang ketika Anton mengangkat kepala dan menatapnya dengan tajam. Sejak tadi lelaki paruh baya itu asyik bermain ponsel.
"Duduk di sini, ya. Biar Tante siapin dulu makanannya," ucap Sarah sembari membawa boks tadi ke ruangan sebelah.
Kini, Nadine bingung harus bersikap apa. Sejak tadi dia mencoba menghubungi Janu tetapi belum respons. Hanya satu pesannya yang dibalas. Lelaki itu mengatakan bahwa hari ini ada rapat akreditasi di rumah sakit. Sehingga dia tidak bisa makan siang bersama.
Nadine mengusap tangan berulang kali karena gugup. Anton beberapa kali terbatuk lalu kembali menatap ponsel.
"Om," sapa Nadine berbasa-basi.
"Ya."
Suara Anton yang menggelegar membuat Nadine terkejut. Gadis itu mengusap dada berulang kali untuk menenangkan hati. Suasana kembali hening, sehingga dia berulang kali melirik jam di tangan yang geseran jarumnya terasa lambat.
"Eh, ayo kita makan."
Tiba-tiba saja Sarah muncul dari dapur ditemani oleh seorang ART. Wanita paruh baya itu langsung duduk di sebelah Nadine dan mengambilkan piring untuk suaminya.
"Ini buatan Nadine, Pa. Dicobain dulu," ucap Sarah saat menyendok rendang yang cukup banyak.
Anton mulai mencicipi dengan dahi berkerut. Dia terdiam beberapa saat lalu kembali menyuap. Sementara itu, Sarah juga mulai makan. Nadine sendiri masih menunggu reaksi mereka atas masakan yang dia bawa tadi.
"Enak ya, Pa," ucap Sarah sembari melirik suaminya.
"Enak."
Nadine mengucap hamdalah dalam hati sembari mulai menikmati bagiannya sendiri. Suasana mulai mencair dan mereka makan sembari berbincang. Tidak ada lagi kecanggungan karena Sarah pintar mencari bahan obrolan.
Setengah jam berlalu dan akhirnya mereka menghabiskan isi piring masing-masing. Anton bahkan menambah nasi dua kali dan makan dengan begitu lahap.
"Nadine, tante mau tanya ini."
"Apa, Tante?"
"Ini rendang bumbunya apa? Kok enak banget, ya. Rasanya beda gitu," ucap Sarah dengan tenang.
Nadine gelagapan. Bingung hendak menjawab apa. Dia sama sekali tidak tahu apa bumbunya karena ini adalah hasil olahan si Uda di restoran Minang waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Dr. Jack
RomanceCerita ini menjadi 20 peserta terpilih dalam kompetisi Lovrinz Writing Challenge 2021. *** Janu, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang baru ditempatkan di sebuah rumah sakit swasta terkenal di ibukota. Sikapnya yang dingin dan cuek, membuat p...