9. Buaya Darat

2K 96 12
                                    

Janu memarkir mobilnya di belakang bangunan rumah sakit. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung.

"Pagi, Dokter."

Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.

Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.

Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggoda. Semua orang sudah tahu sikapnya dan merasa segan. Apalagi ketika dia begitu cekatan menangani pasien dengan diagnosis yang selalu tepat. Sehingga banyak yang menaruh hormat kepadanya.

"Dokter!"

Janu menoleh saat mendengar suara yang sudah familiar memanggilnya.

"Dokter Rani." Janu berhenti berjalan dan menunggu gadis itu datang menghampirinya.

"Mau ke poli?"

Rani menatap Janu dengan malu-malu. Senyumnya merekah indah dengan mata yang berbinar. Sepertinya bunga-bunga cinta mulai bermekaran di hati gadis itu.

Janu mengangguk karena tak bisa berlama-lama. Dia malu jika sampai melanggar kedisiplinan, padahal selama ini mengajarkan kepada perawat untuk datang tepat waktu.

"Itu, Dok. Saya--" ucap Rani ragu-ragu.

"Apa?" tanya Janu kebingungan melihat kelakuan gadis itu.

"Nanti boleh makan siang bareng, gak?"

Saat berucap itu wajah Rani semakin merona karena menahan malu. Dia hanya memberanikan diri untuk mencoba mendekati. Itu juga karena Janu begitu kaku.

"Boleh."

"Di luar. Saya yang traktir."

Janu tertegun saat mendengar itu. Belum pernah terjadi seumur hidupnya ditraktir makan oleh wanita, kecuali  sang mama.

"Nanti saya kabari. Saya ke poli dulu, sudah terlambat."

Janu berpamitan dengan melambaikan tangan. Saat tubuh jangkungnya berjalan menjauh, jantung Rani berdebar semakin kencang. Entah mereka akan bicara apa nanti saat makan siang.

Begitu memasuki ruangan, Janu langsung meletakkan ponsel dan mulai bersiap-siap. Beberapa pasien sudah menunggu. Para perawat pendamping sudah tiba sejak pagi.

"Maaf, saya telat."

Janu langsung duduk dan melihat rekam medis pasien. Snelli miliknya masih tergantung dan jarang dipakai. Setelah lulus spesialis, dia malah jarang menggunakannya.

Janu mulai memeriksa pasien dengan cermat dan teliti. Dia begitu sabar menjawab pertanyaan dari mereka. Padahal rata-rata pasien adalah peserta asuransi pemerintah, yang pembayaran biaya jasanya lebih sedikit dari pasien umum. 

Janu ikhlas merawat mereka semua.
Dia memang membutuhkan materi, tetapi itu bukan orientasi utama. Itulah sumpahnya sebagai seorang dokter.

***

Janu memasuki restoran itu dengan tenang sembari melihat suasana sekitar. Dia belum pernah makan di sini karena tempatnya agak jauh dari rumah sakit.

"Hai!"

Hello Dr. JackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang