16. Kisah Masa Lalu

1.7K 88 6
                                    

Janu menatap wajah papanya dalam, kemudian menggeleng berulang kali setelah mendengar cerita secara detail. Dia tak menyangka, bahwa batalnya lamaran malam itu di rumah Nadine, disebabkan oleh perselisihan kedua orang tua mereka di masa lalu.

"Semua memang udah lewat. Tapi, papa gak mau kamu berhubungan dengan keluarga Raka. Camkan itu!" ucap Anton tegas, kemudian berjalan meninggalkan mereka di ruang keluarga.

Sarah memaksa Raka untuk bercerita, karena penasaran atas kejadian tadi. Selama ini dia tidak pernah tahu bahwa suaminya pernah berselisih paham dengan ayahnya Nadine. Air mata wanita itu terisak setelah mendengarkan semua.

Janu meremas rambut karena kesal, juga mengusap wajah. Dalam hatinya bergumam mengapa semua menjadi rumit. Dia sungguh tak menyangka jika dulu papanya pernah melakukan kecurangan kerja sama, sehingga merugikan perusahaan milik keluarga Nadine.

Anton adalah seorang pejabat pemerintahan yang memegang beberapa proyek penting. Saat lelang tender untuk pembangunan sebuah gedung, harusnya Raka yang menang. Sesuai prosedur, hanya perusahaan kontraktor miliknya yang memenuhi persyaratan.

Sayangnya, Anton malah bermain di belakang dan memenangkan perusahaan lain karena fasilitas yang diberikan lebih menggiurkan. Waktu itu dia butuh biaya untuk menyekolahkan Janu yang akan melanjutkan pendidikan menjadi dokter spesialis.

Di saat penentuan terakhir, nama perusahaan lain yang muncul sebagai pemenang tender. Padahal sejak awal perusahaan Raka yang memegang kendali. Akhirnya, perusahaan kontraktor itu menggugat. Sehingga nama Anton tercemar dan dimutasi ke dinas lain. Hanya saja waktu itu dia beralasan, sengaja meminta pindah karena sudah bosan dan ingin mencari suasana baru.

Waktu itu istrinya percaya dan mengikuti sang suami pindah domisili karena bakti sebagai seorang istri. Namun, setelah kejadian itu, karir Anton merosot. Dia yang selama ini dipercaya oleh atasan, lambat laun mulai diabaikan. Prestasi yang dicapainya selama ini seperti tak dihargai sama sekali.

Benar kata pepatah, karena nila setitik maka rusak susu sebelanga. Sebanyak apa pun kebaikan kita akan lenyap begitu saja, saat satu keburukan tercipta. Hal itulah yang terjadi dan Anton menjadi sakit hati.

Janu tak mau menyalahkan papanya Nadine. Dalam hal ini, memang papanya yang berulah. Lelaki itu ingin mengumpat saat mendengarkan penjelasan tadi. Ternyata selama ini, biaya sekolahnya dibayar dari uang yang tak baik.

Janu sungguh kecewa. Harusnya papa memberitahunya sejak awal, bukan memaksakan membayar semua jika memang tidak mampu. Rasa kebanggaan menyandang gelar itu lenyap seketika saat dia mengetahui kenyataannya.

"Udah, Ma. Jangan nangis lagi," ucap Janu sembari memeluk mamanya.

"Mama malu. Mama malu," ucap Sarah terbata.

"Udah lewat, Ma. Jangan diungkit lagi."

"Selama ini mama kira papa baik-baik aja. Kalau sampai karena kasus itu papa diperiksa pihak yang berwajib. Terus ditangkap, gimana?" Wanita itu mengusap air mata yang menetes di pipi.

"Kan dananya udah dikembalikan semua, Ma. Lagian waktu itu kan keputusannya diambil bersama. Bukan sepihak. Cuma papa sebagai pemimpin yang harus tanggung-jawab."

Janu sangat menyayangkan mengapa mereka baru mengetahuinya sekarang.

"Terus sekarang gimana kamu sama Nadine? Kasihan dia, harusnya bahagia tapi malah kecewa."

Sarah menatap sang putra dengan rasa bersalah. Selama ini Janu jarang sekali mengenalkan wanita. Terakhir dulu sewaktu saat masih menjadi dokter umum, tetapi putus karena perbedaan keyakinan.

"Belum tahu, Ma. Aku mau ketemu dia secepatnya. Aku harus minta maaf dan jelasin semua."

Baru saja Janu menyukai seorang gadis dan berniat serius, kini ada lagi cobaannya. Bertahun-tahun dia menutup hati karena kecewa. Ketika hendak membuka hati, juteru malah jadi pelik begini.

Janu sempat menduga bahwa mungkin ini balasan baginya karena telah menyakiti hati Rani. Ah, tidak. Dia tidak akan kembali kepada gadis itu. Sekalipun saat ini papa tidak merestui hubungannya dengan Nadine. Semoga suatu hari nanti, ada jalan terbaik untuk niat baik mereka.

***

Janu mengetuk pintu rumah itu dengan ragu-ragu. Tiga hari yang lalu mereka datang ke rumah ini dengan niat baik. Namun, malah gagal dan pulang tanpa sempat berpamitan. Di antara kebimbangan, dia malah berlari mengejar papanya. Harusnya saat itu dia mendatangi keluarga Nadine dan menyampaikan maksud kedatangan.

Janu berulang kali mengusap telapak tangannya karena gugup. Keringat dingin mengucur di sela-sela jari. Hawa panas tiba-tiba saja menyerang saat pintu terbuka. Tampaklah sosok wanita cantik yang selama ini dia panggil Tante.

"Nadine gak mau ketemu. Kamu bicara sama Om aja, ya."

Ratih menyuruh Janu masuk. Dia berjalan ke belakang untuk menyiapkan hidangan. Setelah tersaji, wanita itu masuk ke kamar lagi dan membiarkan suaminya berbicara.

"Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Raka tanpa basa-basi.

Janu menguatkan hati sebelum akhirnya menjawab.

"Mau ketemu Om sekeluarga. Saya mau minta maaf," ucapnya tulus.

"Kamu gak salah apa-apa. Harusnya papa kamu yang datang meminta maaf," kata Raka pelan. Dalam situasi begini, kepalanya harus tetap dingin.

Malam itu, Raka sudah berusaha tenang dengan menahan amarah. Ratih malah menyuruh mereka duduk dan berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, Anton yang pergi begitu saja. Meninggalkan luka bagi putri semata wayangnya. Hatinya sakit saat sang buah hati yang paling dikasihi, malah mendapat perlakuan seperti itu.

Untunglah rumah mereka terhalang tembok besar. Jadi, tidak ada tetangga yang mendengar. Juga keluarga besar yang belum dilibatkan sama sekali. Jika sampai mereka tahu, entah mau ditaruh di mana mukanya.

"Saya boleh ketemu Nadine, Om?" katanya penuh harap.

Dia rindu kepada kekasihnya. Sudah tiga hari sejak kejadian itu mereka tak berhubungan sama sekali. Dia mencoba menelepon dan mengirim pesan, namun tidak ada respons. Harusnya, jika ada masalah begini, mereka saling menguatkan.

"Dia di kamar. Gak mau diganggu."

Janu bergumam dalam hati. Sudah pasti kekasihnya itu marah dan kecewa. Namun, dia bisa apa? Laki-laki itu sudah mencoba, tetapi tak berbalas.

"Tapi, Om--"

"Baiknya kamu pulang. Biarkan dia tenang. Kejadian itu bikin dia syok dan sedih. Apalagi setelah Om dan Tante jelasin semua," jelas Raka.

Putrinya sudah beberapa hari ini tidak mau makan dan hanya menangis di kamar. Setiap berangkat kerja, Nadine terlihat lesu dan pulang dalam keadaan yang sama. Gadis itu lebih banyak mengurung diri.

"Maafkan kami." ucap Janu sungguh-sungguh.

"Papa udah cerita semua. Kami juga gak tahu, Om. Selama ini Papa merahasiakannya," jelasnya.

Janu menceritakan kepada Raka tentang pembicaraan keluarga mereka. Juga alasan mengapa papa sampai berbuat seperti itu. Namun, ego papanya tinggi sekali, sehingga tidak merestui hubungan mereka.

"Om udah lupain itu sejak lama. Dulu memang benci sekali sama Pak Anton. Sampai malam itu juga masih sama. Cuma sekarang lebih memikirkan perasaan Nadine," katanya tenang.

Raka teringat pesan istrinya untuk tidak memperpanjang masalah. Jika bisa, mereka ingin kembali menjalin silaturahmi.

"Makasih Om udah ngerti. Saya pikir Om sama kayak Papa."

Janu menarik napas lega kali ini. Hanya ada satu hal yang masih mengganjal di benak lelaki itu. Sikap Nadine yang mengabaikannya.

"Biarkan dia tenang dulu. Entah sampai kapan, semoga secepatnya. Kami malah mau lupain perselisihan dulu."

Janu mengangguk. Cukup lama mereka bercerita. Saat ini, Raka lebih bisa diajak berbicara daripada papanya sendiri. Malam semakin larut dan dia masih belum pulang.

Mereka tak menyadari bahwa dari balik pembatas pintu, Nadine diam-diam menguping. Gadis itu merasa bersalah karena telah mengabaikan kekasihnya.

Di saat seperti ini, harusnya mereka mencari cara bagaimana agar hubungan ini direstui, bukannya malah menghindar. Nadine bergegas kembali ke kamar saat mendengar Janu berpamitan. Untunglah dia sudah berada tangga paling atas saat papanya memanggil mama untuk menemui Janu sebelum pulang.

Hello Dr. JackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang