18| Never give up

252 20 1
                                    

Tak perduli sekuat apapun lo menghindari cinta, tapi lo tidak bisa menolak takdir.
____

Banyak orang yang sulit membedakan antara introvert dan pendiam. Tapi, banyak juga yang menyamakan antara keduanya. Padahal, keduanya itu sudah jelas berbeda.

Seorang pendiam itu memang berada dalam diri, yang sangat menyukai kesendirian dan irit dalam berbicara atau berinteraksi. Sedangkan Introvert itu merupakan kecenderungan yang dilandasi dengan keinginan dan kenyamanan. Seorang introvert bisa diam jika hal itu tidak nyaman dan sefrekuensi dengannya. Namun, Ia juga bisa terbuka dan berbicara panjang lebar, jika hal itu memang sesuai dengan zona kenyamanannya.

Jadi gimana, cukup jelas bukan?

Setiap orang memanglah memiliki sifat yang berbeda-beda, dan kita tidak bisa memungkiri hal itu. Tapi, perbedaan apapun itu, kita tetaplah satu dalam BHINEKA TUNGGAL IKA, yeah.

"Reni, seharusnya lo gak harus selalu izinin suami lo, setiap kali Nanda minta diantarin pulang atau minta jemput." Ujar Alam, disela-sela kendaranya.

Hari ini, Alam yang mengantarkan Reni ke sekolah dengan motornya atas perintah Bian. Sebab, Bian akan menjemput Nanda ke rumahnya.

"Gapapa." Jawabnya lesu.

"Loh, kok pasrah gitu sih. Lo masih cinta kan sama Bian?"

"Masih. Tapi, sepertinya hampir tidak lagi."

"Wait-wait!" Alam menghentikan motornya dipinggir jalan. "Maksud lo apa? Lo mau mundur dan biarin Nanda jadi milik Bian?" Lanjutnya membuka helm.

Reni mengangguk, memilih duduk di tempat duduk yang tersedia disana.

"Kenapa Reni? Kenapa lo putus asa seperti ini! Masa lo mau ikhlasin Bian ke Nanda begitu saja?" Alam seolah tak terima dengan keputusan Reni.

"Sejujurnya aku juga tidak menginginkan ini, Alam. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak boleh merebut Bian dari cintanya, begitupun dengan Nanda." Sungguh kini hatinya begitu perih.

Sungguh sekarang Ia begitu bingung. Dilain sisi ada suaminya dan di sisi lain ada sahabatnya. Keduanya sama-sama berarti baginya, dan tak mungkin mereka memihak salah satu dari mereka untuk menyakiti ataupun membahagiakan dirinya.

"Pernikahan kami tidak ada tujuannya. Dan hubungan ini memang tidak bisa diteruskan." Lanjutnya lirih.

"Hei, dengarin gue!" Alam memegangi kedua pundak Reni. "Hubungan dan pernikahan yang kalian sedang jalani saat ini, bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah takdir tuhan." Lanjutnya lagi, berusaha meyakinkan Reni.

"Nanda itu hanyalah pacarnya, sedangkan lo adalah istrinya. Iya, gue tau Bian sangat mencintai Nanda, lalu bagaimana dengan lo yang sudah dipersatukan dalam pernikahan dengannya? Dan kalian gak bisa ngerubah atau menampik hal itu."

"Gue gak mau lo fikir gue jahat, tapi gue yakin hubungan Nanda dan Bian itu gak akan bertahan lama. Gue juga tau, kita gak bisa nyalahin Nanda disini, karena dia gak tau apa-apa. Yang menjadi kunci disini adalah soal kejujuran."

"Tak perduli sekuat apapun lo menghindari cinta, tapi lo tidak bisa menolak takdir."

Semua pernyataan Alam itu sedikit membuatnya tersentak. Memang benar, Ia tidak ingin menyakiti sahabatnya, namun bagaimana jika yang menjadi takdirnya itu memang adalah Bian?

Apakah dia harus menolak takdir? Mustahil and impossible.

"Iya, kamu benar. Aku gak boleh nyerah gitu ajah." Reni mengusap air matanya.

"Nah gitu dong. Lo gak perlu khawatir, karena gue bakal selalu bantuin lo."

"Makasih ya Alam." Reni memegang tangan Alam, yang dibalas senyum manis oleh sang empunya.

Tret tret tret

Keduanya langsung melihat sumber suara. Dan ternyata, yang nglakson mobil tersebut adalah Bian.

"Bian?" Ujar keduanya, saling melepaskan pegangan tangan masing-masing.

"Kirain udah nyampe, ternyata lagi asyik berduaan disini?"

"Gak Bian, kita cuman mampir duduk disini kok."

"Lo kok bisa disini, bukannya lagi jemput Nanda?"

"Biasalah. Yaudah, lanjutkan!" Bian menancap gas mobilnya, meninggalkan mereka berdua.

"Alam, Bian marah gak ya?"

"Ya bagus dong kalo dia marah, itu tandanya dia juga ada rasa sama lo." Alam memakai helmnya kembali.

"Yuk ke sekolah, nanti suami lo ngamuk lagi." Lanjutnya, membuat Reni tersenyum menaiki motor.

Reni harap pernyataan Alam itu terwujud. Semoga saja, Bian benar-benar cemburu yang menandakan perasaannya terbalas.

°°°°°°

"Bian, coba deh sedikit saja lo ubah sikap lo ke Reni. Coba sedikit saja, lo buka hati dan coba nerima dia." Alam sedikit berbisik, karena posisinya sekarang mereka berada di kelas.

"Terus? Untungnya buat gue apa?" Ketusnya membuat Alam sedikit kesal.

"Goblok banget sih lo jadi cowok. Reni rela mengorbankan masa mudanya hanya untuk bersedia menikah dengan lo, yang Lo anggap demi papa lo. Dia rela menahan sakit hati saat lo sedang bersama Nanda. Kurang sabar apa dia jadi istri lo?"

"Bukannya ini yang lo mau?"

"Yang gue mau? Maksud lo?" Alam sedikit mengernyit heran.

Rio yang duduk di belakang bangku mereka, hanya memutar kedua bola matanya. Keadaan seperti ini sudah menjadi rutinitas bagi Alam dan Bian setiap hari jika bertemu.

"Gue tau lo respect kan sama dia? Gakpapa sih kalo lo suka sama dia, gue juga gak ada rasa kok sama dia."

"Terus kenapa kalo gue respect sama Reni?" Alam tersenyum licik melihat ekspresi Bian yang berubah ketika mendengar pertanyaannya.

"Kenapa Bian? Lo cemburu? Bukannya lo gak ada rasa sama dia?" Alam semakin senang mendesak Bian.

"Prffttt, cemburu? Nanda masih melebihi segalanya dibanding dia. So, buat apa gue cemburu. Kalo lo mau, ambil aja! Karena sepertinya lo yang lebih peduli padanya." Ketus Bian, mengekspresikan wajah seperti menahan tawa.

"Okay. Mungkin sekarang lo belum memahaminya. Mungkin lo akan paham, jika sabarnya istri lo berubah jadi ikhlas."

"Oii, kalian ngomongin apa sih hah? Konsentrasi! Lagi ujian malah sibuk ghibah. Remedial baru tau rasa kalian." Rio pusing mendengar keributan mereka berdua.

Untung saja, hanya mereka bertiga yang mendengar percakapan mereka. Karena semuanya sibuk mengerjakan ujian semester ganjil.

TO BE CONTINUED

🖤 Vote yauw🌜

Altruistic✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang