12| Perhatian Bian

326 27 2
                                    

Kejujuran adalah salah satu kunci kepercayaan.
_____

📲 "Iya Ma. Nanti Bian kesana bareng Reni. Ini selepas sarapan kami langsung kesana."

Bian yang baru saja bangun, menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Pasalnya Windi, menelfonnya sepagi ini hanya untuk ingin bertemu dengannya.

📲 "Oke Mama tunggu ya! Tanya Reni juga kalo Bunda sama ayahnya juga ada disini."

📲 "Iya-iya Ma. Udah, Bian mau sarapan dulu. Assalamualaikum."

📲 "Waalaikumsalam ...."

Saat dirasa panggilan telfonnya sudah dimatikan, Bian memasukkan ponselnya kedalam saku celana pendeknya. Ia kemudian berjalan menuju meja makan, berniat untuk sarapan.

"Apa-apaan ini, udah jam segini cewek itu belum masak sarapan?" Monolog-nya melihat meja makan yang biasanya jam segini sudah ada makanan namun sekarang tidak.

Bian berjalan ke arah luar untuk menemui Reni. Menanyakan alasan kenapa dia belum masak di jam segini.

"Udah jam segini, dia masih molor. Gak tau apa kalo gue udah lapar." Bian berkacak pinggang, melihat Reni yang masih senantiasa tertidur dengan selimut sebatas leher.

Bian menarik-narik selimut Reni. "Woi! Bangun! Gue laper." Namun Reni belum menunjukkan tanda-tanda ingin bangun.

"Ck. Woi, Bangun!!" Bian yang berniat membangunkan Reni itu, terkejut mendapati kening Reni yang begitu panas.

"Ren, Reni. Bangun, hey! Badan lo panas banget." Bian menepuk-nepuk pipi Reni, yang membuat Reni sedikit membuka mata.

"Eh Bian? Ma-maaf aku lupa belum masak sarapan." Ujarnya hendak bangun.

Bian menahan pergerakan Reni. "Gak usah masak, badan lo panas banget. Lo demam?" Tanyanya.

"Gak kok. A-aku gakpapa." Reni merubah posisinya, menjadi duduk

"Gak apaan? Muka lo pucat gitu. Sebenarnya mama nyuruh kita buat main ke rumahnya. Tapi, karena lo sakit, lebih baik kita jangan kesana dulu. Nanti gue telfon mama, biar dia kesini dan gak khawatir."

"Kenapa? Aku gakpapa kok. Mending kita kesana siapa tahu ada hal penting yang ingin mereka bicarakan."

"RENI!! Kalo gue bilang enggak ya enggak. Udah! Mending lo pindah keatas aja, nanti ribet lagi kalo mama datang dan tau kalo lo tidur di sini. Sini biar gue bantu!"

"A-aku bisa sendiri kok." Reni ngeyel berusaha ingin berjalan sendiri, namun pusing di kepalanya membuatnya hampir terjatuh. Untung saja, Bian berhasil menangkapnya.

"Udah dibilangin biar gue bantu, tetap aja keras kepala." Bian memapah Reni, namun karena jalannya begitu lambat akhirnya Bian memilih menggendong Reni ala bridal style.

Reni tersenyum manis melihat Bian begitu perhatian kepadanya. Untung saja, Bian tak melihat senyumnya itu. Andai bisa, Reni ingin agar dia sakit terus agar Bian bisa bersikap seperti ini kepadanya.

Bian menidurkan Reni di kasur dengan perlahan. Lalu memakaikannya selimut agar Reni merasa nyaman.

"Lo istirahat aja dulu. Gue mau nelfon dokter sekaligus ngabarin mama." Reni mengangguk lesu mendengarnya.

Beberapa jam berikutnya, akhirnya dokter sudah memeriksa Reni. Windi, Harun, Ardi dan Muti juga sudah ada di sana. Membuat Bian sudah merasa lega.

"Bagaimana keadaan putri saya dok?" Muti khawatir.

"Tenang! Anak anda hanya kelelahan yang membuatnya kekurangan cairan dan berdampak demikian. Kalian tidak perlu khawatir, Reni hanya perlu beristirahat dengan cukup." Semuanya bernafas lega mendengarnya.

"Terimakasih dokter." Ujar Harun.

"Kalo begitu, saya permisi."

"Biar saya antar." Ardi mengikuti dokter laki-laki itu untuk mengantarnya ke depan.

"Bian, jaga istri kamu ya! Jangan sampai dia kecapekan. Mama tidak mau liat menantu mama sakit lagi." Windi menatap nanar ke arah menantunya. Sangat terlihat, kalau Windi begitu menyayangi Reni.

"Iya Ma."

"Kalo begitu Mama sama bunda mau ke bawah dulu, mau buat makanan untuk Reni. Kasihan perutnya masih kosong, dia harus minum obat." Bian mengangguk.

"Bian tolong jaga Reni dulu ya!"

"Iya bunda, Bian akan disini."

°°°°°°

"Pagi Nanda?" Sapanya. Reni melihat Nanda yang sedang melamun, berusaha memanggilnya kembali.

"Nanda? Nanda Adelya?!" Ia menggoyangkan pundak Nanda, sehingga lamunan sahabatnya itu buyar.

"Reni, kok lo udah masuk sekolah? Emangnya Lo udah sembuh?" Nanda memeriksa Reni dengan raut wajah khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di kening Reni untuk memastikan.

"Kok kamu bisa tau?" Reni mengernyit. Pasalnya, dia tidak sama sekali memberitahukan mengenai masalah kemarin pada Nanda.

"Iya, Alam yang kasih tau gue." Jawabnya, melipat kedua tangannya di atas meja. "Terkadang gue mikir, gue penting gak sih di hidup lo sebagai sahabat, Ren?" Lanjutnya tanpa menatap Reni.

"Kok Nanda nanya seperti itu?" Reni yang awalnya berdiri, kini mengikut duduk di samping Nanda.

"Soalnya lo masih belum terbuka ke gue. Bahkan hal kecil tentang lo saja, gue tau dari orang lain."

"Bukan gitu, Nan." Reni kemudian diam sesaat. Ia fikir perkataan Nanda itu juga ada benarnya. Dan gak seharusnya Reni merahasiakan hal kecil yang membuat sahabatnya itu kecewa.

"Ada yang mau lo ceritakan? Jujur aja Ren!"

Reni menggeleng. "Gak ada. Maaf ya Nan, kemarin kepalaku pusing banget jadinya lupa kabarin kamu."

"Iya gakpapa. Rencananya hari ini gue mau ke rumah lo, buat ngejengukin lo. Tapi, puji Tuhan lo udah sembuh."

"Maaf ya, Nan. Nanti kalo aku sakit lagi, aku kabarin kamu deh."

"Eh astaga. Jadi lo ngarep sakit lagi? Kalo cuman kabar sakit lagi, mending gak usah kabarin. Gue seakan-akan nungguin kabar lo buat kabar sakit doang. Hahha," Nanda spontan menoyor kepala Reni yang kelewat polos.

"Oiya Nanda, aku bawa bekal nasi goreng nih. Nanti kita makan sama-sama ya!"

"Kalo soal itu mah gak usah di tanya. Hahha," jawabnya antusias dengan sedikit tawa.

TO BE CONTINUED

(☞ ͡° ͜ʖ ͡°)☞⭐
(☞゚ヮ゚)☞💬

Altruistic✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang