18. Sudah Selesai Kah?

325 102 12
                                    

"Gimana soal omongan Lo yang ngejamin setiap nyawa yang memasuki gedung ini, Kak?" tanya Zoa tiba-tiba, wajahnya tak terlihat lantaran gadis itu menunduk. Rambutnya yang tergerak menutupi seluruh akses untuk melihat mukanya.

"Kenapa Lo tiba-tiba ngebawa topik itu?" Minhee bertanya balik.

Zoa perlahan mengangkat kepalanya. "Gue cuma mau ngebuktiin kalo semua orang itu sama! nggak pernah menepati janji! Orang-orang yang udah mempercayakan nyawanya ke Kak Jeongin berhasil hilang! Kenapa? Karena Kak Jeongin sibuk menyelamatkan dirinya sendiri!" seru Zoa.

"Loh? Ya kalo dia enggak menyelamatkan diri sendiri bagaimana caranya dia bisa menyelamatkan orang lain?" Ryujin ikut membantu.

Zoa tertawa sinis. "Harusnya dia bisa menempatkan orang lain diatas dirinya sendiri," jawab Zoa dengan enteng.

"Semua orang punya cara masing-masing untuk menolong orang. Lagian, gue yakin Jeongin bukannya diem aja dari tadi. Dia pasti lagi mikirin cara yang tepat untuk bisa keluar dan menyelamatkan jiwa yang tersisa." Minju turut bersuara.

"Jeongin juga udah nyelamatin gue tadi. Kalo gue bersikeras pergi ke ruangan tempat Seongmin dan Yujin bersembunyi tadi, mungkin aja gue udah nggak berdiri disini," lanjut Chenle.

"Hah?" Jeongin menyahut. "Lo tau darimana-"

"Kalo suara Seongmin yang kedengeran bisik-bisik aja bisa gue denger apalagi teriakannya?"

Oh iya, Jeongin sempat mendengarnya tadi walau hanya sekilas. Ia kira Ia salah dengar.

Zoa menggeram. "Harusnya Kak Jeongin biarin Kak Chenle buat pergi dong? Dengan begitu mungkin aja mereka berhasil selamat!" seru Dahyun, masih tak mau kalah.

"Zoa.. Lo lupa kalo kalian megang senjata?" Haruto bertanya. "Kak Chenle aja nggak tau caranya berantem, gimana bisa dia ngelawan lawan yang bersenjata?" lanjut Haruto.

"Sembarangan Lo Har kalo ngomong." Chenle tak terima.

Zoa mengepalkan tangannya erat. Sumpah demi Tuhan Zoa sudah sangat muak dengan semua ini. Uhh, Dahyun kira dia bisa mengangkat 'keadilan' yang Ia perjuangkan jika Ia mengikuti mereka. Tahu gitu lebih baik dia bekerja sendirian tanpa perlu khawatir untuk tertangkap.

"Ugh.. intinya gue benci banget sama semua orang! Kalian, mereka, semuanya sama! Senang mengikrarkan janji tapi enggak pernah ditepati."

Jeongin menunduk. Dia sadar dia salah. Tidak seharusnya pemuda ini asal mengatakan sesuatu secara gamblang tanpa tahu resiko yang ada. Jeongin bersedia menanggung dosa teman-temannya jika itu merupakan satu-satunya cara yang bisa Ia lakukan sekarang.

"Dosa orang nggak bisa dibagi-bagi, Yang Jeongin," ucap pria yang masih belum diketahui namanya itu.

Ya, Jeongin sudah sangat paham akan hal itu. "Terus gue harus apa...," Lirih Jeongin seraya berlutut, menyembunyikan wajahnya dibalik tangan besarnya. Ia frustrasi.

Pria itu menyeringai. Inilah ekspresi yang Ia tunggu sedari tadi. Keputusasaan Sosok Pemimpin. "Serahin nyawa Lo. Demi mereka."

Jeongin mengangkat kepalanya perlahan. Yang lainnya terkaget.

"JANGAN!" seru Chenle.

"NGGAK, KAK. LO NGGAK PERLU DENGERIN OMONGAN DIA." Minhee ikut mencegah.

"Jeongin... Jangan...," ucap Somi dengan suaranya yang kecil.

Rocky menghela napas. "Kak Changmin, please. Hukuman yang bakal Lo tanggung akan lebih berat lagi nantinya," ucap Rocky pada lelaki itu. "Lagian Lo lupa perintah dari 'dia'?"

Orang itu---Ji Changmin, atau Q---memutar bola matanya malas. Decihan kecil terdengar darinya. Perlahan Ia menolehkan kepalanya. "Lo pikir gue nggak bakal bertindak sendirian? Persetan dengan hukuman, yang penting hati gue tenang."

Rocky dan Zoa terbelalak mendengar ucapannya. Sepertinya mereka mengerti maksud dari ucapan Changmin.

"Jangan bilang Lo mau ngulangin kejadian tiga tahun lalu!?" seru Rocky.

Changmin mengangkat bahunya. "Iya kali?"

Rocky menghela napas pelan.

###

"Loh...?" ucap Jisung seraya menunjuk lima orang lainnya yang baru datang lewat lorong lain.

"Hei..." Ningning terduduk karena lelah terus menerus berlari. "Gila, cape banget gue...," keluh gadis itu.

"Kalian denger itu?" Wonjin tiba-tiba bertanya kepada adik-adiknya.

"Paan kak?" tanya Taeyoung, penasaran.

Wonjin menggeleng. "Gue kayak denger teriakan tadi, kayaknya salah deng- wait-" Wonjin mengisyaratkan mereka untuk diam, lalu pemuda itu berjalan mendekat ke arah pintu tempat mereka masuk beberapa jam yang lalu.

"Sirene ... polisi?" Samuel mulai mendengar suara yang membuat Wonjin tak jadi melanjutkan omongannya.

"Ada suara sirene ambulan juga..." sahut Taehyun yang ikut menempelkan telinganya pada pintu besi tersebut.

"Anyway yang lainnya kemana?" Ningning bertanya, karena menurut firasatnya tidak mungkin hanya mereka berenam yang masih selamat.

Mereka hanya bisa saling berpandangan, mengangkat bahu. Tak tahu menahu. Tak satu petunjuk pun.

"Lantai tiga? Rooftop? Nggak tau. Gue lari-larian di lantai ini doang," jawab Taehyun dengan jujur.

"Guys!" Seseorang berseru dari lorong tempat Jisung keluar tadi.

Lebih tepatnya empat orang. Yuna, Win, Beomgyu dan Daehwi datang bersamaan. Mereka terus berlari hingga menemui cahaya. Sampai akhirnya mereka berempat terkapar begitu saja.

"Oh iya! Gue jadi lupa mau cerita apa tadi kan," seru Daehwi seraya menepuk pelan kedua telapak tangannya. "Tadi gue liat mobil polisi sama ambulan mau jalan ke sini."

"Udah tau," jawab enam orang yang sudah tiba lebih dulu.

"Dih. Reaksinya nggak banget, nggak mau. Nggak suka," gerutu Daehwi.

Mereka tertawa pelan, melupakan sejenak posisi mereka saat ini. Lagi pula permainannya juga sudah akan berakhir. Mereka bisa sedikit tenang hingga polisi dan ambulans datang.

Suara sirene polisi dan ambulan yang saling sahut menyahut itu pun makin terasa dekat.

Lalu mereka bersepuluh sayup-sayup mendengar suara seseorang dibalik lorong yang gelap. Mereka langsung terdiam, meninggalkan perasaan yang campur aduk di dalam hati.

Saat-saat yang menegangkan sekali, bukan?

Akankah mereka berhasil keluar dengan selamat?

Atau justru mati sebelum bantuan datang membantu?

###

TBC

[#2] Simon Says • 01-05L [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang