"Duh anjir, kok ditutup sih. Ayo buka pintunya Har!"
"Jangan."
Ryujin yang tengah berada di depan pintu itu sontak menengok kepada Haruto yang sedang berdiri di belakangnya.
"Kok 'jangan', sih?" Tanya Ryujin terheran-heran. "Lo mau kita terperangkap disini entah sampe kapan, gitu?" sambungnya seraya berkacak pinggang.
Haruto menggeleng. "Bukan, kalo itu mah gue ya mana mau. Tapi kalo misalkan kita keluar lalu orang-orang tadi masih ada didepan gimana?"
Ryujin terdiam.
Benar juga, hal itu tidak terpikirkan olehnya.
Tapi, "Ya tinggal dilawan?"
"Kalo mereka punya senjata?"
Lagi, Ryujin dibuat bungkam oleh kalimat asal namun terdengar masuk akal yang dilontarkan oleh Haruto.
"Sabar, kak. Kita tunggu sedikit lebih lama lagi nyampe mereka beneran udah nggak ada di depan sana," kata Haruto.
Haruto membalikkan badannya.
Ah, ternyata hanya pintunya saja yang kecil. Nyatanya ruangan itu bahkan lebih besar dari yang terlihat.
"Mau ngapain lagi, Lo?" Tanya Ryujin.
Haruto menoleh ke belakang. "Liat-liat doang, kak. Siapa tau nggak bakal kesini lagi, kan."
Ryujin bangkit dan menghampiri Haruto, ikut mengamati ruangan yang mereka tempati saat ini.
Kebersihan dan kerapiannya sangat dijaga, tanda bahwa sang pemilik selalu menyempatkan waktunya untuk hinggap kesini.
"Haruto."
Haruto memalingkan wajahnya menghadap Ryujin. Telapak tangan Ryujin bergerak, seakan memintanya untuk mendekat. Haruto menurut dan bergerak melangkah menuju keberadaan Ryujin.
Terdapat pintu kayu disana, dengan jendela kecil yang terletak pada tengahnya.
Haruto bertanya lewat ekspresi wajahnya. Ryujin yang mengerti pun langsung mengintip lewat jendela yang terletak di tengah pintu itu.
"Ada tangga. Ngarah kemana ya kira-kira?"
Mana Haruto tahu. Lagi pula Haruto tidak mau tahu. Bagaimana kalau tangga itu mengarah ke tempat yang berbahaya?
"Gimana kalo tangga ini ngarah ke tempat mereka?" tebak Ryujin yang terdengar seperti berharap.
Opsi itu juga bisa dijadikan bahan terkaan. Tapi Haruto lebih memilih memikirkan hal yang terburuk, Ia tak suka berharap lebih. Berharap hanya membuat manusia menjadi sakit ketika hal yang diinginkan malah terjadi sebaliknya.
"Mending nunggu disini deh kak, lebih aman."
Anggap lah Haruto pengecut, Haruto mengakui dirinya sendiri. Ia tidak pernah mau untuk keluar dari zona amannya. Untuk apa kalau hanya untuk membahayakan diri sendiri atau bahkan orang lain?
Lebih baik diam di tempat dari pada harus bergerak, namun bisa mengancam tidak untuk diri sendiri tapi juga orang sekitar.
Ryujin yang mendengar ucapan Haruto barusan hanya bisa menghela napas sambil memijat keningnya.
Ryujin memang baru mengenal adik kelasnya yang satu ini, tapi Ryujin merasa sudah mengenalnya sejak lama.
Mungkin karena efek sedari tadi mereka berdua selalu bersama?
Ryujin menghampiri Haruto dan menepuk pundak yang lebih muda.
"Lo nggak bisa selalu berpikiran kayak gitu, Har. Lo nggak bisa selalu berlindung di lingkaran zona aman Lo itu. Kalo kayak gitu terus gimana hidup Lo kedepannya?"
Haruto bungkam. Bukan, Haruto bukannya tersadar dengan apa yang dikatakan oleh Ryujin, Haruto hanya memilihnya.
Lagi, karena adanya bayang-bayang 'zona aman' dibenaknya.
"Lawan Har. Lo nggak bisa tinggal diem gitu aja," ujar Ryujin.
Haruto mengepalkan kedua telapak tangannya dengan erat. Menahan emosi yang meluap.
Namun nyatanya Haruto tetaplah Haruto. Seorang pemuda cilik yang baru saja menginjakkan kaki di dunia kesenioran. Seorang pemuda kecil yang sedang merambah berusaha melewati masa remajanya dengan tenang.
"Percaya sama gue, ya? Nggak ada salahnya kok buat menaruh rasa percaya ke orang lain," ucap Ryujin, berusaha meyakinkan Haruto.
"Terakhir kali gue melakukan hal itu, gue malah ditinggalin. Apa iya gue masih bisa berharap, kak? Gue nggak mau jatuh, karena itu sedari dulu gue nggak pernah berharap, bahkan sama keluarga gue sekalipun. Gue nggak mau hati gue terluka," jelas Haruto dengan tatapan sendu.
Soal itu, Ryujin juga merasakannya. Persis seperti yang Haruto jelaskan.
Tapi Ryujin berhasil melewati zona itu.
Ryujin hanya membiarkan takdir mengalir layaknya air di sungai. Ryujin hanya memberikan dirinya kesempatan sekali lagi.
"Gue ngerasain apa yang Lo rasain. Awalnya, Lo nggak percaya siapa-siapa, Lo menutup hati Lo bahkan untuk keluarga Lo sendiri. Lantas dateng orang yang berhasil membuka pintu hati Lo, tapi ketika Lo udah membiarkan orang tersebut masuk dan membuat Lo memberikan kepercayaan yang selama ini selalu Lo jaga dengan baik—
—orang itu dengan seenaknya pergi. Meninggalkan sisa di dalam hati Lo. Jujur disaat-saat seperti itu, gue marah, kesel, sedih, kecewa, pokoknya campur aduk lah. Kalo mau pergi ya pergi aja, nggak usah ninggalin apapun, dalam bentuk kenangan sekalipun."
Ryujin tersenyum miris mendengar tuturan kata demi kata yang Ia ucapkan.
"Lalu, kenapa kakak milih buat memaafkan dan memberi kesempatan untuk hati kakak lagi?" tanya Haruto.
Ryujin menoleh sambil tersenyum sendu, lantas menunduk.
"Karena, masa lalu ada untuk dimaafkan, bukan untuk dilupakan. Masa lalu ada untuk menjadi sebuah pelajaran, bukan menjadi sebuah penyesalan."
Ryujin menghela napas pelan sebelum kembali berjalan menuju pintu yang Ia temukan tadi.
Sebelum meraih kenop pintunya, Ia menoleh.
"Jadi, Lo, emm, apakah Lo bersedia untuk memaafkan masa lalu?"
###
TBC
iya tau chapter ini
ngebosenin, nggak ada aksi
atau itu.
maaf ya, sudah menunggu
lama malah yang diberikan
tidak sesuai dengan ekspetasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[#2] Simon Says • 01-05L [✔]
Fanfiction[SELESAI/REVISI] "jangan sampe keulang lagi, plis!" note. You need to read "Play With Me" first to get know about their problem before this. ©moonchaey, 2020
![[#2] Simon Says • 01-05L [✔]](https://img.wattpad.com/cover/226351845-64-k128327.jpg)