Hawa terasa dingin. Bahkan tubuh pun ikut merinding. Namun satu yang berdetak tidak karuan. Jantung.
Sudah hampir 20 menit Bagas menunggu di depan Ruang UGD dengan dada berdebar hebat. Tidak hanya sendiri, namun bersama sepasang paruh baya yang satu tengah menyalahkan, dan satu lagi hanya diam menelan penyesalan.
"Kalo aja Frey gak kamu asingkan, pasti gak kaya gini!" ucap Laras dengan berderai air mata.
"Aku kan udah bilang beberapa kali, Frey gak terlibat dengan kegugurannya aku."
"Sekarang gimana rasanya heh? Nyesel!"
Bagas meremas tangannya sendiri. Khawatir. Dia masih terbayang, saat Freyana pingsan dengan hidung mengalir darah tidak sedikit di tengah aksi Eka melakukan bunuh diri. Mengingat tentang Eka, dia sedang apa? Baik-baik sajakah?
Bagas menyugar rambutnya kasar. Sumpah, kepalanya ingin pecah. Dia tau semuanya tentang Eka, hubungannya dengan Danu. Bagas mendengarnya tidak sengaja saat dirinya berniat menyusul dua wanita itu, namun telinganya malah mendapat sebuah fakta menamparnya dengan tanpa di minta.
Eka mencintainya. Namun dia menganggap sebagai adik. Terlebih, Eka sangat mirip dengan adiknya yang sudah meninggal. Brengsekkah?
Beruntungnya Tuhan masih sayang kepada Eka. Danu datang dengan tepat waktu. Lalu memboyong pergi entah kemana. Bagas tidak punya pilihan lain, selain bergegas membawa Freyana yang lebih membutuhkan. Karena di satu sisi dia merasa lega terhadap Eka, masih ada Danu yang mengurusnya.
Pintu Ruang UGD terbuka, melenyapkan segala pikiran gundah di kepala Bagas. Dokter wanita paruh baya itu pun langsung di serbu oleh Laras dengan tergesa.
"Keadaan Frey gimana?" Sang Dokter terkejut melihat tingkah Laras yang begitu tidak sabaran, setelahnya tersenyum.
"Anak ibu baik-baik saja, tenang! Dia hanya kekurangan vitamin c," Dokter menjeda.
"Dan satu lagi, sepertinya anak Ibu, Bapak tertekan. Tolong! Di usia anaknya yang sudah beranjak dewasa, peran orang tua lebih di perlukan sebagai sosok teman yang bisa di ajak bercerita. Ibu dan Bapak paham kan maksud saya?" Laras dan Martin saling pandang penuh makna. Sang Dokter tersenyum maklum dan pamit undur diri.
Bagas hanya menatap nanar.
***
"Ana makan dulu ya!" Bujuk Martin yang hanya di anggap angin lalu oleh Freyana.
Selama membuka mata, Freyana hanya menatap bingung lalu membalikan badan memunggungi semua orang seolah mengasingkan diri.
Laras terus menangis, matanya sampai menyipit. Sementara Bagas hanya diam, dia ingin memberi waktu untuk Freyana. Bagas tau, Freyana sedang tidak baik-baik saja.
Martin yang sangat merasa bersalah disini. Dia tidak henti mengajak Freyana berinteraksi. Sampai nama Ana tidak absen di ucap. Martin berharap Freyana marah jika nama panggilan kesayangan almarhum istri pertamanya di ucap oleh mulutnya. Namun, harapan tinggal angan.
"Ana gak lapar heh?" tangan lelaki paruh itu mengusap kepala anaknya sayang. Setelah puas, lalu beralih kebahu, seketika air mata menggenang di pelupuk matanya.
Kamu makan satu hari berapa kali, Frey? Pertanyaan itu hanya tertahan di tenggorokannya.
Martin memijat pelan bahu kurus itu. Dia mulai mencari topik.
"Kamu jarang makan ya na? Ini bahu gak ada dagingnya, hahaha..." ucapnya di selingi tawa garing.
Laras menahan tangis melihatnya. Dia yakin, suaminya sedang mengejek dirinya sendiri karena merasa gagal sebagai Ayah.
"Ana jangan dieum mulu! Ayah suka Ana yang galak," ucap Martin dengan nada pura-pura merajuk.
"Sekarang Ayah gak bakal larang-larang lagi. Terserah Ana mau ngapain. Tapi kalo nyusahin Bi Nina jangan sadis-sadis yah! Kasin udah tua, hahaa..." Martin mengusap air yang turun dari pelupuk matanya.
Tangan keriputnya berenti memijat bahu Freyana.
"Eh, kenapa heh? Anak Ayah nangis?"
Bahu Freyana makin bergetar hebat. Martin membalikan badan Freyana pelan. Sangat pelan. Freyana menangis tanpa suara. Matanya sudah memerah hebat. Martin tidak tega melihatnya, lalu memeluk Freyana.
"Ana kenapa heh?" tanya Martin lembut. Isakan Freyana sekarang terdengar. Martin mengusap punggung anaknya lembut.
"Hiks-- matt-ii. Anak ayah matt-i hiks, sekarang E--Eka matt-i hiks," ucap Freyana sesegukan. Martin kaget, lalu menatap Bagas yang sama dengannya.
Wajar Freyana berbicara seperti itu. Karena wanita itu pingsan duluan sebelum aksi penyelematan Danu. Akhirnya seperti ini.
"Frey minta m--maaf hiks... Frey bukan an--anak baik, Frey cuman bisa nyusahim Ay--ayah hiks... nyusahin or--rang lain. Hiks.." Freyana tersedu-sedu.
Di mata Martin kini Freyana seperti Freyana kecil dulu. Mengadu pada dirinya. Mata Martin berair. Tidak kuat melihat anaknya seperti ini.
"Bunda ma--apin Ana hiks..." guman Freyana dalam isak tangisnya.
Maafin Ayah Frey.
_______________________________
Gimana ceritanya?
Tungguin terus kelanjutannya😉
*Jangan lupa tinggal jejak❤
KAMU SEDANG MEMBACA
The Majororet Queen [End]✓
Fiksi RemajaManja, egois, galak, sombong itulah seorang Freyana Dollan. Si Ratu Mayoret sekolah yang sangat di gilai kaum adam karena paras cantik dan badan modisnya. Dia hidup semaunya dan tak boleh ada yang menentangnya. Namun karena ulah bodohnya, papahnya b...