Suara kecupan memenuhi salah satu kamar di kabin para bangsawan. Bunyi gesekan kain dan tubuh polos sang nona terdengar begitu erotis, begitu pula dengan suara basah ketika lidah lembut sang tuan menjelajahi mulut manis sang nona.
Sebastian Moran, pria dewasa yang telah meniduri banyak wanita itu terlihat begitu menikmati sentuhan tangan mungil sang nona. Jemari lentik itu memeluknya erat, disertai wajah manis dengan pipi merah merona.
Sungguh manis dan membuatnya candu.
Moran tidak pernah sekalipun merasa senafsu ini kala bersama seorang wanita. Ratusan wanita yang pernah tidur bersamanya, tidak ada satupun diantara mereka yang dapat membangkitkan gairah terbesar dalam diri Moran. Tiap lekukan tubuh sang nona sungguh menggairahkan, seakan tidak akan pernah habis berapa kalipun Moran mengecupnya.
Moran pun tidak pernah sekalipun mengucapkan kata cinta kala bercinta bersama para wanita. Tidak pernah sekalipun mencium bibir mereka hingga nyaris gila lantaran rasa senang yang membucah dalam dada. Moran skeptic akan cinta, namun sekarang ia justru diperbudak oleh rasa konyol yang sempat ia tolak kehadirannya.
Moran sendiri tidak pandai merayu, atau barangkali tidak terbiasa lantaran para wanita akan datang mendekatinya tanpa Moran sendiri harus bersusah payah. Maka dari itu ia sendiri pun memilih untuk mengungkapkan perasaan ini dengan caranya sendiri.
Dengan sentuhan yang begitu memabukan.
Tidak perlu banyak kata untuk mengucapkan perasaan yang terpendam, tidak perlu juga banyak kata rayuan untuk mengungkapkan rasa. Menyentuh tubuh sang nona saja sudah cukup mewakili perasaan yang terbangun megah di hati keduanya.
"Sebastian."
"Hm?"
Dikecupnya leher mulus sang nona sembari menanti perkataan yang akan keluar dari bibir manis itu. Kedua tangan kokoh Moran tidak tinggal diam, tangan kirinya sibuk membuka tali korset yang berada di tubuh sang nona, sementara itu tangan satunya memegang pinggang ramping dan menahannya agar Moran sendiri lebih mudah membuka tali korset.
Posisi yang begitu erotis, apalagi kini kecupan Moran terus turun hingga tulang selangka sang nona. Mengigit pelan kulit mulus itu lalu meninggalkan bekas kemerahan disana.
"Kenapa kau membiarkan aku pulang hari itu."
Gerakan Moran terhenti, iris matanya menatap mahakarya yang telah Moran buat dalam tubuh indah sang nona. Bungkam, Moran tidak tahu harus mengatakan apa. Haruskah ia jujur pada sang nona? Mengatakan bahwa kesetiaannya pada sang Moran jauh lebih penting dari eksitensinya?
Moran jelas bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa sang nona pun memiliki perasaan yang sama dengannya. Mungkin terdengar terlalu percaya diri karena sang nona belum mengatakan apapun semenjak hari pertama mereka bertemu. Tapi yang jelas, tatapan yang dilayangkan untuknya ditiap pertemuan adalah tatapan yang juga Moran berikan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE | S. Moran
FanfictionKau yang terlarut dalam imajinasi berkepanjangan. Bersendau gurau sembari menyembunyikan luka di dada. Hidup entah untuk apa dan mencintai siapa. Kemarilah, aku akan menceritakan sebuah cerita yang dihalangi kasta, namun diberkati oleh maha kuasa...