"Tuan Eugene, apa anda yakin?"Pasar rakyat jelata adalah tujuan utamanya. Hingar bingar para pedagang terdengar hingga keseluruh penjuru pasar, disusul bau amis yang makin pekat tiap kali Eugene melangkah.
Beruntung, Eugene sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini sehingga ia tidak terlalu risih. Menjadi seorang ksatria memaksa Eugene untuk meninggalkan sifat-sifat bangsawan yang dicekoki oleh kedua orang tuannya sejak kecil. Tentu saja hal itu membuat Eugene memiliki pandangan yang sama dengan sang adik.
Dan hanya di dunia militer sajalah kasta dan sebagainya tidak menjamin kehidupan seseorang. Tidak peduli dia merupakan anak bangsawan ternama atau bukan, jika dia tidak memiliki skill berpedang atau bertahan hidup lainnya, maka dia akan mati oleh siapapun yang ada disana.
Karena medan perang bukanlah tempat para bangsawan bertamasya.
"[Name]?"
Sebuah tarikan serta suara baritone mengaggetkan Eugene. Tarikannya yang cukup keras itu membuat jubah hitam yang Eugene pakai terlepas, yang mana menampilkan surai [hair colour] serta sepasang netra jernih yang sama dengan milik sang adik.
Wajahnya yang begitu tampan itu membuat beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Termasuk para pedagang yag mulai berbisik-bisik, mempertanyakan darimana asal pria itu dan bagaimana ia bisa ada disini.
"Hah?"
"Hah?"
Cengo, baik Eugene maupun pria sama-sama kebingungan. Mereka berdua terdiam dan saling memandang satu sama lain. Pandangan pria itu turun kebawah, menatap jubah dibagian dada yang seharusnya mengembang mengingat ukuran milik gadis itu termasuk lumayan.
Rata.
Apa-apaan ini? Sejak kapan [Name] berganti gender menjadi laki-laki?
"[Name]?"
Sekali lagi, pria itu menanyakan nama sang gadis pada pria itu. Memastikan apakah dia benar-benar nona yang membuat dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak berhari-hari.
Seorang pemuda lain yang juga ada disana hanya diam sembari menikmati kebodohan dua pria dewasa didepannya kini. Lagi-lagi mereka saling memandang, memproses kejadian yang ada di depan mata.
"Maaf?"
Itu adalah bagaimana keduanya bisa bertemu dan berakhir duduk di salah satu bangku yang menghadap arah sungai. Eugene dengan jubah hitamnya terlihat tidak terlalu banyak bicara, begitu juga dengan pria gagah tadi.
Ah, benar, namanya Sebastian Moran.
Dua pria tampan itu justru saling duduk diam dalam situasi canggung. Moran sendiri tidak bisa melakukan apapun, mungkin saja ia tidak ingin menodai martabatnya didepan kakak dari perempuan yang disukainya.
"Kau menampung adikku selama dia kabur?"
Jemari panjang Moran bergerak menyentuh pakaian yang ia kenakan. Kedua iris matanya menatap lurus sungai dengan air yang begitu jernih dan tenang. Seakan tidak pernah menjadi pelaku hilangnya nyawa seseorang.
Terdiam sesaat, Moran kembali teringat dengan misi yang ia lakukan disaat [Name] tertidur di penginapan. Tentu saja saat dimana nona itu meminta Moran melepas korset yang ia kenakan tidak akan pernah terlupakan, termasuk saat dimana jemari lentiknya memeluk Moran begitu erat disela-sela tidur lelapnya. Wajahnya yang terpantul cahaya purnama itu sungguh terlihat cantik.
Ngomong-ngomong, pria yang bernama Eugene ini sangat mirip dengan [Name]. Mulai dari warna rambut hingga warna pupil mata, bahkan dari caranya menatap dan berjalan pun tidak ada bedanya.
Mereka seperti anak kembar, fisik mereka cukup sulit dibedakan.Andai kata Eugene berkata bahwa dia adalah [Name] yang tengah menyamar menjadi laki-laki pun, Moran mungkin akan percaya.
Karena mereka memang sangat mirip.
Kecuali dalam hal sifat dan tingkah laku, tentu.
Berbeda dengan sang nona yang serampangan dan sinis, Eugene jelas memiliki sifat yang jauh lebih baik. Dia seperti bangsawan normal dengan pemikiran yang unik. Sosoknya itu mengingatkan Moran akan saudara sang majikan. Benar, Albert James Moriarty. Mereka berdua memiliki sifat dan perilaku yang hampir mirip. Yang mana keduanya sangat lembut dan memiliki wibawa tersendiri.
Tapi yang jelas, Eugene jauh lebih lembut dari adiknya.
"Secara teknis, iya, aku yang menampungnya."
Daripada menampung, Moran lebih suka tinggal bersama. Kendati nona muda itu menghabiskan hampir setengah dari uang yang Moran punya, dirinya tidak merasa keberatan dengan hal itu. Bahkan andaikata ia mempunyai uang yang lebih banyak dari ini, dengan senang hati Moran akan memberikannya untuk kesenangan sang nona. Tidak peduli jika itu akan membuat dirinya bangkut lantaran harus memenuhi nafsu makannya.
"Apa adikku menyusahkanmu?"
Terdiam sesaat, bibir Moran yang semulanya mengatup kini kembali terbuka. Sorot matanya melembut ketika nama sang nona terlontar dari bibirnya.
Berbisik pelan, Eugene terdiam ketika mendengar sebaris kalimat pelan yang terlontar dari bibir sang mantan colonel disampingnya. Sedikit merasa kesal pada diri sendiri, mengapa dirinya yang merupakan seorang kakak tidak tau menahu tentang hal ini?
"Lusa adalah hari pertunangan adikku dengan pria lain."
Moran tau itu. Ia jelas tau bahwa lusa adalah hari dimana sang nona akan terikat dengan pria lain. Koran berita yang tersebar dimana-mana menjadi hal pertama yang ingin Moran bakar. Sudah cukup dirinya mendengar perjodohan itu dari kepala keluarga [Surname] secara langsung. Jangan ditambah dengan koran menjijikan dengan topik terkait pertunangan sang nona yang begitu detail. Judul memuakan dengan huruf kapital itu makin membuat emosi Moran naik hingga nyaris meledakan kepala.
"Apa kau tidak apa-apa dengan hal itu?"
Eugene ingin memastikan perasaan yang dimiliki oleh pria disampingnya ini. Dirinya jelas tidak memiliki pemikiran bahwa bangsawan harus bersama orang dengan kasta yang sama. Tidak masalah jika pria disampingnya ini merupakan rakyat jelata atau bahkan budak yang di ambil dari negara tetangga, asal dia mencintai adiknya dan tidak semena-mena atas hak sebagai pasangan [Name]. Eugene dengan senang hati akan membantu keduanya tetap bersama.
Setiap manusia memiliki kasta dan hak yang sama. Itu adalah hal yang Eugene yakin dan ia ajarkan pada adik semata wayangnya.
"Aku...."
Moran menunduk, menyembunyikan wajah tampan yang kerap kali ia pamerkan pada banyak wanita. Tangannya mengepal erat, pertanda bahwa dia tengah menahan rasa dalam dada. Seumur hidupnya, baru kali ini Moran merasakan perasaan seperti ini. Perasaan menyebalkan yang tidak akan pernah bisa lenyap walau dirinya meniduri ratusan wanita.
"... tidak baik-baik saja...."
Sebastian Moran sudah jatuh lebih dalam dari yang ia duga.
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE | S. Moran
FanficKau yang terlarut dalam imajinasi berkepanjangan. Bersendau gurau sembari menyembunyikan luka di dada. Hidup entah untuk apa dan mencintai siapa. Kemarilah, aku akan menceritakan sebuah cerita yang dihalangi kasta, namun diberkati oleh maha kuasa...