Dentingan alunan musik mengiringi lari mereka. Gesekan kain serta tautan tangan yang tidak pernah terlepas membuat sang puan merasa dadanya membuncah. Punggung yang begitu mungil dan mulus, yang selalu sukses membuat dirinya gemetar oleh rasa duniawi.
Gaun putih itu telah kotor oleh lumpur, namun kaki sang nona justru masih bersih sebab terbalut dengan sebuah sepatu milik sang puan. Moran tidak ingin kaki mulus itu kotor karena bersentuhan dengan lumpur jalanan. Tidak ingin ada satu kuman maupun bakteri sialan yang berada diatas permukaan halus kulit sang nona.
Moran tidak ingin lagi membiarkan siapapun menyentuh tubuh indah yang akan menjadi miliknya.
Gelak tawa pelan mengudara, sungguh manis ketika keluar dari mulut sang nona. Lagi-lagi jantung Moran berdegub begitu kencang.
Ah, ini rasa yang begitu menyenangkan.
Dirinya adalah pemuja wanita, lebih tepatnya lekuk tubuh indah yang memberikan kenikmatan serta kepuasan tiap malamnya. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang begitu pas dalam genggaman tangan sang puan.
Tidak ada satupun dari mereka yang mampu membuat Moran merasa nikmat hanya dengan desahannya saja.
Kecuali sang nona yang kini berada dibawahnya.
"Ahh... Sebastian...."
Suara lirih dengan ekspresi yang begitu memabukan itu membuat Moran makin ingin menyentuh tiap inchi dari tubuh indah dibawahnya. Keringat yang menetes dari pergerakan keduanya ikut memberikan rasa nikmat yang luar biasa. Moran tidak pernah sekalipun merasa senikmat ini ketika merasakan tubuh seorang wanita.
Padahal Moran selalu yakin bahwa dirinya bisa memuaskan tiap wanita yang ada. Namun, sekarang justru dirinya yang terpuaskan oleh dinding kewanitaan yang seakan melelehkan seluruh tubuhnya dalam kenikmatan. Berulang kali Moran mengecup bibir ranum itu, dirinya tidak pernah sekalipun merasa terpuaskan.
Lebih, lebih, Moran ingin merasakan dan memberikan lebih.
Moran menggenggam erat tangan sang nona. Mengelus lembut telapak tangan halus sang nona sebelum mengecup pipi dan bibir ranumnya.
Saliva yang bertautan diantara mereka makin memanaskan ranjang, begitu pula tangan Moran yang mulai bergerak menyentuh tiap inchi dari tubuh molek sang nona. Hentakan demi hentakan ia berikan untuk kepuasan bagi keduanya, Moran terus menerus melakukan itu sejak malam hingga pagi datang. Semata-mata ingin mendengar bagaimana wanita pujaan memanggil namanya tiap kali cairan cinta itu keluar.
Dikecupnya bahu mungil sang nona, terus turun hingga mengecup punggung telanjang itu. Dengan lembut Moran mengelus pinggang sang nona sembari mengecupi kembali bahunya.
Ah, sungguh pria yang faham bagaimana cara memuaskan wanita.
Moran bergerak menarik sang nona ke dalam pangkuan. Bisa ia langsung bagaimana [Name] yang mengerang kala kenikmatan kembali menghantam dinding kewanitaannya. Sementara itu Moran justru merapatkan tubuh, menciumi leher jenjang didepannya sembari membantunya mempercepat gerakan dengan cara memegangi kedua pinggul sang nona.
Tolong tanyakan pada sang penguasa, bagaimana cara untuk dapat berhenti memuja wanita seindah malaikat surga.
"Aku mencintaimu, sangat."
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE | S. Moran
Fiksi PenggemarKau yang terlarut dalam imajinasi berkepanjangan. Bersendau gurau sembari menyembunyikan luka di dada. Hidup entah untuk apa dan mencintai siapa. Kemarilah, aku akan menceritakan sebuah cerita yang dihalangi kasta, namun diberkati oleh maha kuasa...