1. Khalisa Arcilla

54 13 4
                                    

"Khalisa Arcillaaaa," riuh tepuk tangan menggema dalam ruangan penuh orang itu.

Seorang guru yang sedari tadi berdiri di podium tersenyum menatap seorang gadis berambut sebahu yang berjalan ke arahnya.

Gadis itu berdiri seorang diri di atas panggung yang memang sudah disediakan.

Dia Khalisa Arcilla, peringkat 3 dari kelas X IPA 1 yang notabennya adalah kelas unggulan.

Hari ini adalah hari pengambilan rapor di sekolahnya, dan kali ini ia memperoleh peringkat 3, terbilang menurun, karena selama di SMP ia selalu menduduki peringkat 2, tapi ia tetap bersyukur, terlebih ia masuk kelas unggulan, peringkat 3 sudah cukup bagus bukan ?

Setelah gadis itu berdiri di posisinya, sang guru melanjutkan kegiatannya, memanggil satu per satu nama yang menduduki peringkat teratas di sekolah itu.

Di sana, di atas panggung itu, semua siswa dengan peringkat teratas tersenyum bahagia, menatap orang tua mereka yang tentu saja bangga akan pencapaian mereka.

Begitu juga dengan gadis itu, Lisa panggilan akrabnya, ia tersenyum, senang tentunya, ia pun menatap kedua orang tuanya yang duduk di barisan terdepan, namun, bukan tatapan bahagia yang didapat, justru tatapan tajam seakan tak puas dengan pencapaiannya.

Lisa melihat kebawah, tak berani menatap kedua orang tuanya, senyum bahagianya pun sudah tak terlihat lagi, ia hanya diam dengan tatapan kosong dan terus menunduk, sampai acara selesai.

***

Lisa dan kedua orangtuanya turun dari mobil dan memasuki sebuah rumah yang sudah diisi oleh banyak orang, mereka saudara Lisa, saudara dari sang Mama.

Sudah menjadi tradisi bagi keluarga besar Lisa untuk berkumpul setelah penerimaan rapor, mereka akan makan bersama dan berbincang mengenai pendidikan anak-anak mereka, mengenai peringkat anak-anak mereka lebih tepatnya.

Lisa mendudukkan dirinya disebuah kursi yang memang menjadi tempatnya saat berkumpul seperti ini, mereka akan makan bersama.

Setelah semuanya duduk, mereka mulai makan dengan tenang, setelah selesai makan makanan berat, mereka memakan makanan penutup, dan inilah saatnya.

"Cucuku yang mana yang dapat peringkat satu?" Itu suara sang nenek, memang ini tujuan utama mereka berkumpul.

Tiga orang anak mengangkat tangannya dengan semangat dan senyum mengembang, tiga orang itu adalah sepupu Lisa, dan semuanya laki-laki.

Sang nenek tersenyum menatap satu persatu cucunya yang peringkat satu itu.

"Peringkat dua?" Hanya satu orang anak perempuan yang mengangkat tangannya, semua orang menatap ke arah Lisa, karena biasanya ia memang peringkat dua.

"Lisa peringkat berapa?" Tanya sang nenek dengan lembut, tapi sangat mengintimidasi bagi seorang Lisa.

Lisa mendongak sebentar kemudian menunduk kembali, dengan suara pelan dan penuh kehati-hatian ia berkata.

"Peringkat tiga nek."

"Kenapa bisa turun?" Suaranya tak lembut lagi, hal itu membuat Lisa semakin menunduk dalam.

Pertanyaan itu, ini kedua kalinya ia mendapat pertanyaan seperti itu, 3 tahun lalu adalah kali pertamanya.

Saat itu Lisa kelas 1 SMP, ia mendapat peringkat 2, sebelumnya, saat Sekolah Dasar, ia selalu mendapat peringkat 1, selama 6 tahun lamanya ia senang dengan acara kumpul-kumpul ini, namun ia baru sadar sekarang, acara ini tidaklah menyenangkan, tidak sama sekali.

"Peringkat tiga?" Satu lagi anak perempuan mengangkat tangannya, itu sepupu Lisa yang paling kecil, sejak awal ia selalu mendapat peringkat 3.

Sang nenek hanya tersenyum dan mengangguk, Lisa pun hanya diam, sebenarnya ia tak terima, mereka sama-sama mendapat peringkat 3, tapi mengapa diperlakukan berbeda ?

***

Lisa sedang duduk sendiri di taman belakang, ia tak nyaman bergabung dengan sepupu-sepupunya yang lain, apalagi dengan tatapan-tatapan tajam mereka.

Lisa mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang, bulannya pun bersinar terang, hal sederhana itu bisa membuat Lisa mengembangkan senyumnya kembali.

Lisa terhanyut dalam kesendiriannya, matanya masih betah menatap bulan dan bintang diatas sana, seolah lupa dengan perasaannya hari ini, senyumnya terus saja mengembang.

"Lisa, pulang yuk, udah malam, Mama tunggu di mobil," sang Mama pergi terlebih dahulu.

Lisa berdiri dan kembali masuk kedalam rumah, ia berpamitan pada kakek dan neneknya, lalu keluar menghampiri Mama dan Papanya yang sudah menunggu di mobil.

Hanya keheningan yang ada dalam mobil itu, Lisa tak berani bersuara sedikitpun, ia terus meremas ujung bajunya sembari menunduk, sesekali ia melihat ke kursi depan yang diisi kedua orangtuanya.

"Semester depan jangan sampai peringkat tiga lagi !" Lisa mendongak melihat Papanya, ia hanya mengangguk tanpa suara, suara tegas Papanya membuat ketakutannya bertambah.

"Makanya jangan kebanyakan main, belajar aja di rumah !" Kali ini Lisa hanya mengangguk tanpa melihat sang Mama yang menatapnya.

Mobil itu berhenti di depan gerbang sebuah perumahan, Lisa yang mengertipun turun terlebih dahulu, disusul oleh kedua orangtuanya.

Mereka menghampiri dua orang yang baru saja turun dari mobilnya, Lisa berdiri diantara dua orang itu, ia hanya diam dan menunduk.

"Suruh dia belajar lebih giat, jangan biarkan keluyuran tidak jelas !" Lisa menatap Papanya tak percaya, Tau apa Papa tentang Lisa?  Hati kecilnya teriak tak terima, namun mulutnya diam tak bersuara.

"Kami pulang dulu, jangan terlalu manjakan dia !" Ingin rasanya Lisa menertawakan dirinya sendiri, setidak peduli itukah kedua orang tuanya?

Lisa menatap nanar mobil kedua orangtuanya yang sudah menjauh.

"Ayo Lisa, udah malem, pasti Lisa ngantuk," Lisa mengangguk dan masuk ke mobil Om dan Tantenya.

Lisa memang tidak tinggal dengan kedua orangtuanya, ia tinggal dengan Om Kevin dan Tante Nala, Omnya adalah adik mamanya, dan hanya Kevin lah yang mengerti Lisa.

***

Lisa berusaha memejamkan matanya sedari tadi, namun tidak bisa, ia kembali teringat dengan kedua orangtuanya yang bahkan tak tahu apa-apa tentang dirinya.

Ia juga teringat ucapan Tante Nala beberapa waktu lalu.

"Orang tua kamu sudah membuang kamu kesini, jadi jangan merepotkan saya dan suami saya, kamu tidak diinginkan di sana, kalau bukan karena kemauan suami saya, ga akan saya nerima kamu disini !"

Jelas, sangat jelas bahkan tersimpan di otaknya, kalimat itu, lengkap dengan tatapan benci dari Nala, mungkin Lisa tidak akan pernah melupakannya.

"Kapan Mama Papa sayang dan peduli sama Lisa ?"

Cheese LisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang