4. Awal Baru

29 7 2
                                    

Pagi-pagi sekali Lisa sudah siap dengan seragam sekolahnya, hari ini adalah hari pertama sekolah di semester dua. Lisa menghela nafas berkali-kali, hari ini juga hari pertamanya tanpa Kevin.

Lisa memang selalu datang pagi, menghindari bertemu dengan teman-teman satu sekolahnya, ia tak nyaman berada diantara mereka.

Lisa melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, ia akan sarapan dan segera berangkat. Namun ada yang janggal di sini, rumah tampak sepi, seperti, hanya dia yang ada disini.

"Non," Lisa menoleh dan melihat Bibi disana.

"Tante mana ya, Bi ?" Lisa mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan.

"Katanya ada urusan sama teman-teman Nyonya, kemungkinan pulang malam, Non," Lisa hanya mengangguk paham.

Lisa menyantap sarapannya dengan santai, ia masih punya banyak waktu sebelum bel masuk.

Setelah selesai sarapan, Lisa berjalan keluar hendak berangkat sekolah, ia selalu diantar supir pribadinya, kemanapun, orangtuanya yang memberi fasilitas itu.

***

Seperti dugaannya, hanya ada beberapa siswa yang sudah ada di sekolah, Lisa berjalan santai menuju kelasnya. Menikmati tiap inci sekolahnya, karena nanti, saat sudah banyak siswa, Lisa tak bisa menikmati ini semua.

Lisa memasuki kelasnya dan langsung menuju bangkunya yang berada paling depan, sudut sebelah kanan, cukup strategis bagi seorang Lisa.

Ia langsung membuka bukunya dan membaca tulisan demi tulisan yang tertera di sana. Karena baginya, buku adalah teman, dan teman adalah ... entahlah, Lisa tidak tahu apa itu teman, kapan terakhir kali ia memiliki seorang teman ? Rasanya, sudah lama sekali.

Satu persatu siswa sudah mulai berdatangan, sekolah yang mulanya sepi mulai riuh karena para penghuninya yang sudah datang.

Mereka semua cukup heboh, mungkin karena sudah lama tak bertemu, rindu dengan teman-teman sekolah. Lagi-lagi Lisa menghela nafas, tak ada yang ia rindukan di sini, sama sekali tidak ada.

***

Hari pertama sekolah tak ada pembelajaran, hanya menentukan perangkat kelas dan membersihkan ruangan, serta, menentukan tempat duduk. Lisa cukup bersyukur, ia mendapat tempat di ujung lagi, bedanya, kali ini di ujung sebelah kiri, tapi tak apa, setidaknya, masih di ujung.

Sebentar lagi jam istirahat, para siswa diberi waktu 25 menit untuk makan dan melakukan aktivitas lain, setelahnya mereka akan meminjam buku di perpustakaan.

Lisa memilih ke perpustakaan saat jam istirahat, ia tak mau berdesak-desakan dengan siswa lain setelah istirahat nanti.

Dengan santai ia memilih buku pelajaran yang sudah diarahkan penjaga perpustakaan sebelumnya, ia juga mencari-cari buku lain untuk melengkapi setiap materi.

Buku yang dipinjam cukup banyak, Lisa sedikit kesusahan membawa semuanya sekaligus, tapi ia tetap nekat membawanya, seorang diri.

Beberapa kali Lisa berhenti untuk istirahat, tangannya lumayan pegal membawa buku-buku itu. Saat hendak sampai di kelasnya, Lisa tersandung dan menjatuhkan semua bukunya.

Ia meringis menatap lututnya yang lecet, berdarah, cukup perih, itu karena Lisa memakai rok selutut, tak cukup untuk melindungi kakinya.

Namun yang membuatnya sedih bukanlah luka di lututnya, tapi teman-teman sekelasnya. Tak ada satupun dari mereka yang mau membantunya, semuanya hanya menatap tak suka ke arah Lisa.

Dengan segera Lisa merapikan buku-bukunya, ia hendak berdiri, namun lagi-lagi ia tersandung dan terjatuh. Teman-teman sekelasnya tertawa kencang, melihat Lisa jatuh untuk kedua kalinya adalah hal lucu bagi mereka.

Lisa segera bangkit dan duduk di bangkunya, meletakkan buku-bukunya diatas meja.

"Makanya, jadi anak ga usah sok kerajinan, malu sendiri kan ?" Lagi-lagi mereka menertawakan Lisa, Lisa hanya tertunduk diam.

Teman-teman sekelasnya memang tak menyukainya sejak awal, mereka bilang Lisa sok rajin, sok pintar, dan sebagainya, tapi Lisa tak peduli, tugasnya hanya belajar dan mendapatkan peringkat paling atas, supaya orangtuanya bangga.

Lisa pun tak bisa menyalahkan mereka, karena memang Lisa lah yang tak pernah mau mengikuti acara apapun di sekolah. Bukan, bukan tak mau, lebih tepatnya, tak boleh, ia hanya boleh belajar di sekolah, mengikuti les, dan pulang, tak boleh lebih dari itu, katanya itu semua demi kebaikan Lisa.

***

Akhirnya, jam pulang sekolah tiba, Lisa bernafas lega, karena sebentar lagi ia tak perlu bertemu teman-teman sekelasnya, tak perlu mendapat tatapan tak suka dari mereka.

Lisa masih duduk di bangkunya, menatap setumpuk buku di hadapannya, ia tak mau menjadi bahan tertawaan lagi nanti, kalau buku-bukunya jatuh lagi. Akhirnya ia menelpon supir pribadinya untuk membantu membawakan buku-buku itu.

"Hallo Pak, bisa bantu Lisa bawa buku-buku Lisa ?"

"Bisa, Non. Bapak segera ke sana."

"Iya Pak, Lisa tunggu," Lisa mematikan teleponnya, kembali duduk untuk menunggu supir pribadinya.

"Tuan putri keberatan ya ?"

"Nyuruh prajurit buat bawa bebannya ?"

"Duuh, mau dong jadi tuan putri."

"Ahahahahahaha," tawa ketiga gadis itu pecah di hadapan Lisa, menatap mengejek lalu pergi begitu saja.

Lisa yang mendengar itu hanya bisa diam, tak berniat melawan, tak mau buat masalah. Mereka itu tiga orang yang paling membenci Lisa, selalu mengolok-olok apa yang Lisa lakukan, dan selalu menertawakannya.

Supir pribadinya sudah tiba dikelas, membawa buku-bukunya dan lebih dulu pergi, Lisa hendak ke toilet sebentar, buang air kecil, katanya.

Sesampainya di toilet, Lisa menutup pintunya rapat-rapat, berdiam diri disana untuk menenangkan dirinya, namun tak berhasil, air matanya jatuh juga, pertahanannya runtuh.

Lisa terisak di dalam toilet sekolahnya, ditertawakan dan diejek membuat hatinya sakit, jujur, Lisa tidak sekuat itu untuk menerima semua perlakuan buruk terhadapnya.

Lisa kasihan pada dirinya sendiri, tak memiliki seorang teman, tak memiliki tempat berpulang, kemana ia harus pergi saat situasinya seperti ini ?

Terkadang Lisa mempertanyakan letak keadilan Tuhan, di mana keadilan itu ? Rasanya selalu derita yang Lisa peroleh, selalu sakit yang Lisa rasa

***

Sesampainya di rumah ia segera memasuki kamarnya, tidak ada siapa-siapa yang perlu ia temui di rumah ini, Kevin tidak ada, Nala juga sedang keluar, mungkin sengaja menghindari Lisa, Lisa tau Nala tak menyukainya.

Lisa bersih-bersih dan beralih menatap tumpukan buku pelajaran yang baru ia pinjam di perpustakaan tadi, sampai kapan Lisa harus berurusan dengan buku-buku itu ? Sungguh bosan rasanya.

Lisa menata buku-buku itu di rak khusus miliknya, lihatlah, semuanya hanyalah buku pelajaran, latihan-latihan soal, dan materi-materi tambahan, tak ada satupun hal lain disana. Lisa juga baru sadar akan hal itu, ia sendiri heran dengan dirinya.

Setelah selesai menata buku-bukunya, Lisa turun kebawah untuk makan, ia belum makan sejak pulang sekolah tadi. Lisa duduk seorang diri lagi, menikmati makanannya seorang diri, lagi.

"Non, Bibi pamit pulang ya, sudah mau Maghrib," Lisa mengehentikan sejenak aktivitasnya.

"Iya, Bi, hati-hati di jalan," Bibi mengangguk dan berlalu pergi.

Bibi dan Bapak adalah sepasang suami istri, mereka sudah cukup lama bekerja di rumah ini. Lisa sudah menganggapnya seperti saudara, pun dengan mereka, mereka sudah menganggap Lisa seperti anak mereka sendiri.

Nampaknya Lisa akan sendiri lebih lama, Nala belum juga pulang, ia kembali memasuki kamarnya. Bersyukur malam ini tak ada isak tangis yang keluar dari bibirnya, sudah ia keluarkan di toilet sekolah siang tadi.

Namun tetap saja, ia merasa sepi dan sendiri. Ia menatap lututnya yang lecet tadi, bahkan sakit di lututnya terasa biasa saja, ia bahkan lupa kalau lututnya terluka.

Tak apa Lisa luka di kaki, asal jangan di hati, sakit, Tuhan.

Cheese LisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang