28. Percikan

23 5 2
                                    

Lisa menatap pantulan dirinya. Ia tersenyum manis, membuat pipi mulusnya menggembung lucu.

Saat ini, Lisa sudah duduk di kelas tiga SMA, begitu cepat memang, Lisapun menyadari itu. Saat ini juga, keadaan Lisa sudah membaik, sudah jarang menangis disaat malam, sudah tidak ada lagi goresan yang ia ciptakan sendiri.

Setelah puas menatap dirinya sendiri, Lisa berjalan keluar untuk berangkat sekolah. Tak lupa ia sarapan bersama Kevin dan Nala di ruang makan.

"Pagi, Om, Tante," sapa Lisa sebelum duduk.

"Pagi Lisa sayang, nih sarapan dulu." Nala mendekatkan sepiring nasi goreng ke arah Lisa.

"Makasih, Tante." Lisa memakan nasi goreng dengan perasaan senang, senang karena Kevin dan Nala selalu ada untuknya, tak seperti orangtuanya.

"Om udah selesai, Om tunggu di mobil ya." Kevin segera beranjak dari duduknya.

Bapak dan Bibi masih bekerja di rumah, tetapi bagian memasak untuk Lisa, dan mengantar Lisa sekolah menjadi tugas Nala dan Kevin. Keduanya hanya ingin Lisa merasakan kasih sayang orangtua.

***

"Lisa, kapan main ke rumah? Umma udah nanyain tuh."

Lisa yang baru saja duduk dibangkunya itu tertawa kecil. Rasanya baru saja beberapa hari lalu ia bertemu Hannah.

"Bukannya baru beberapa hari lalu ya Lisa ke rumah? Masa Umma udah kangen aja, emang Lisa sengangenin itu ya?" Lisa tersenyum jumawa setelah berujar demikian.

"Lisa PD-nya kelebihan."

Numa mengubah posisi duduknya mengahadap Lisa, bersiap untuk menjelaskan.

"Bagi Umma, dua atau tiga hari tanpa melihat anak-anaknya, adalah masa yang begitu lama," Numa berujar puitis.

Lisa meraba-raba dahi sahabatnya itu, takut-takut suhunya terlalu tinggi.

"Aman kok, nggak panas." Lisa bersikap seolah berpikir.

"Ih, Lisa," sebal Numa.

"Lagian, Numa aneh banget ngomongnya kayak gitu, kayak siapa ya?" Lisa berpikir keras mengingat-ingat.

"Ah iya!" ucapnya setelah ingat.

"Kayak Halil, aneh." Lisa tertawa melihat raut wajah Numa yang tampak kesal, tapi lucu bagi Lisa.

"Pagi teman-temanku tersayang!"

Suara lantang Ceisya membuat seisi kelas melihat ke arahnya, tak terkecuali Lisa yang spontan berhenti tertawa.

"Eh, Cei, udah pulang?" tanya Numa.

Lisa yang tidak tahu apa-apa hanya menatap Ceisya bingung.

"Emang Ceisya kemana?" tanya Lisa entah kepada siapa.

BRAK

"Ya Allah," kaget Lisa dan Numa bersamaan, keduanya terkejut, Yasmin tiba-tiba menggebrak meja Lisa.

"Lo nggak tau?"

Lisa yang ditanyai Yasmin menggeleng.

"Ceisya kan abis liburan sama Mama Papanya ke Bali, makanya baru masuk sekolah hari ini."

Lisa mengangguk paham.

"Ketauan lo nggak liat story instagram gue, ngaku lo?" desak Ceisya yang sudah berada di hadapan Lisa.

Lisa memundurkan badannya sedikit, "Lisa jarang liat story, Cei, mungkin Lisa liat, tapi lupa atau nggak nyadar." Lisa tersenyum canggung setelahnya.

"Yaudah, karena gue masih happy, jadi gue maafin." Ceisya berjalan kembali ke bangkunya.

"Eh, lo harus banget pokoknya quality time sama bokap nyokap lo, seru banget, Yasmin, gue nggak boong, nih liat foto-foto gue selama di sana."

Senyum Lisa memudar mendengar Ceisya yang begitu asyik bercerita dengan Yasmin. Numa yang menyadari itu berusaha mengalihkan perhatian Lisa.

"Nanti beli es krim yok, katanya ada varian baru, toppping keju tau, mau ya?"

Lisa tersenyum tipis lalu mengangguk, ia tahu Numa sedang menghiburnya.

***

Senyum Lisa tak berhenti mengembang sejak tadi. Ia begitu senang melihat es krim rasa dengan topping keju di hadapannya. Ya, mereka saat ini sedang berada di toko es krim langganan mereka.

"Es krimnya nggak dimakan?" tanya Numa melihat Lisa yang hanya memandangi es krimnya.

"Sebentar, Numa." Lisa merogoh saku untuk mengambil ponsel. Diarahkannya ponsel itu ke depan, untuk memotret es krim.

Numa yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala, ia lalu bertopang dagu menunggu Lisa selesai memotret.

"Udah, nih." Lisa menggeser cup es krim Numa.

Keduanya lalu menikmati es krim masing-masing. Lisa selalu mengembangkan senyum ditiap suapannya, senyuman itu menular ke sekitarnya, Numa turut tersenyum senang.

Setelah selesai dengan sesi makan es krim, dua sahabat itu berjalan-jalan mengitari rak-rak buku di toko buku. Langkah Numa terhenti melihat salah satu novel yang menyita perhatiannya.

"Udah nemu bukunya?" tanya Lisa yang spontan ikut berhenti.

Numa menggeleng, tangannya menggapai novel itu, lalu diperlihatkannya pada Lisa.

"Semalem, Numa sama Umma bahas sahabat Nabi yang berbakti banget sama ibunya. Nah, di novel ini juga cerita tentang ibu dan anak, bagus banget ceritanya, Lisa harus baca." Numa mengarahkan novel itu pada Lisa, berharap Lisa mengambilnya.

Lisa terdiam, pandangannya terfokus pada satu titik -novel itu-, netranya lalu beralih menatap Numa, pandangan keduanya beradu. Numa tersadar, ia segera meletakkan kembali novel itu.

"Lisa, Numa nggak bermaksud kayak gitu, Numa cuma," Numa kehabisan kata-kata, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

"Gapapa, Numa, Lisa paham kok, tapi maaf, Lisa belum bisa jadi anak yang berbakti kayak kamu." Lisa tersenyum getir, sungguh hatinya bergemuruh saat ini.

"Maaf, Lisa, maksud Numa-"

"Maksud Numa, Lisa harus maafin Mama Papa kan? Lisa harus berbakti, kayak Numa ke Umma sama Abi, tapi Lisa nggak bisa, Lisa bukan Numa, dan orangtua Lisa nggak kayak Umma sama Abi kamu!"

Lisa melebarkan langkahnya meninggalkan Numa, tak menunggu lama, Numapun berusaha menyamai langkah sahabatnya itu.

"Tapi, Lisa, dengerin Numa dulu." Numa berhasil menahan langkah Lisa dengan berdiri menghalanginya.

"Numa tadi reflek cerita, karena semalem bahas itu sama Umma, apa salah Numa berbagi ke Lisa?"

"Udah Numa, Lisa tau kamu capek kan punya temen kayak Lisa? Lisa belum bisa, mungkin nggak bisa jadi seperti yang kamu mau. Lisa sadar kok kamu selalu ngingetin Lisa soal batasan laki-laki dan perempuan meskipun sama sepupu, tapi Lisa nggak bisa, Lisa butuh Halil."

Numa menggeleng, sungguh, ia tidak menuntut apa-apa, itu semua hanya tanda sayangnya pada Lisa.

"Lisa juga sadar, kamu selalu secara halus minta Lisa untuk maafin Mama Papa, tapi Lisa nggak bisa. Kita lahir dan tumbuh di tempat yang berbeda Numa. Kamu lahir sebagai bunga yang selalu di rawat dengan baik, sampai kamu tumbuh menjadi bunga yang cantik, dikelilingi kupu-kupu yang sama cantiknya, sedangkan Lisa kebalikannya."

"Lisa-"

"Hidup kamu nggak se-menyedihkan Lisa, hidup kamu enak, bahagia, makanya kamu nggak ngerti perasaan Lisa, kamu nggak akan pernah ngerti!"

Lisa meninggalkan Numa begitu saja, tak menghiraukan keadaan Numa yang tampak menyedihkan dengan air mata yang terus mengalir dengan derasnya.

Lisa menelpon Halil, meminta laki-laki itu menjeputnya segera.

***

Hari-hari berikutnya, Lisa enggan berbicara dengan Numa, hatinya selalu saja bergemuruh melihat Numa. Setiap melihat Numa, ia teringat Hannah, bagaimana sayangnya Hannah pada Numa, belum lagi Hadinata, yang bisa dibilang ayah idaman bagi semua anak perempuan. Hidup Numa terlalu sempurna, tidak seperti hidup Lisa yang begitu menyedihkan.

Kapan Lisa bisa sebahagia Numa?

30 Januari 2024
Selasa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cheese LisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang