23. Satu, Akhirnya

8 6 1
                                    

Baru saja satu langkah Lisa keluar dari rumah, pandangannya sudah terganggu dengan kehadiran Halil. Ini sudah hari ke lima ia diantar jemput oleh “kepercayaan” Kevin.

“Ayo, nanti telat,” ucap Halil sedikit berteriak, ia lalu bersiap menjalankan sepeda motor.

Lisa tak banyak bicara, ia hanya berdoa agar segera sampai dengan selamat di sekolah. Baru saja Halil menghentikan laju kendaraannya, Lisa sudah bersiap turun. Ia segera melepas helm dan memberikannya
pada Halil.

“Makasih,” ucap Lisa tanpa ekspresi.

Halil yang sudah biasa dengan sikap Lisa hanya tersenyum hambar. Ia segera putar arah menuju sekolahnya.

“Lisa masih diantar jemput kak Halil ya?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, Lisa hanya menghela nafasnya. Numa juga ikut menghela nafas, ia mengerti jawabannya.

“Nanti kan kita ada les, gimana kalo Lisa naik angkot sama Numa, kan searah. Jadi nggak usah sama kak Halil deh.”

“Iya juga ya, coba Lisa chat dulu Halilnya.”
Bersamaan dengan terkirimnya pesan, bel masuk berbunyi, Lisa segera mematikan ponselnya.

***

“Gimana, kak Halil udah bales chatnya?” tanya Numa sembari merapikan alat tulisnya.

Lisa segera membuka aplikasi pesannya.

“Nih.” Lisa memperlihatkan balasan pesan dari Halil.

“Gue ante raja, angkot rame, pasti panas,” lirih Numa membacakan pesan yang tertera.

“Nyebelin ya dia?”

Lisa tersenyum mendengar pernyataan Numa barusan. Numa memang tidak terlalu suka pada Halil sejak laki-laki itu mengantar jemput Lisa.

“Lama banget beresin buku doang.” Halil mendekati meja Lisa, merapikan buku-buku yang ada di sana.

“Kak Halil ngapain?” tanya Numa dengan nada kesal.

“Mau jemput Lisa lah."

“Lisa sama Numa, mau ke tempat les.”

“Tau, gue bisa anter, atau mau bonceng tiga sama lo?”

Numa memalingkan pandangannya dari Halil, sungguh ia kesal sekali.

“Lisa sama Numa.” Lisa menarik pergelangan tangan Numa, segera keluar dari kelas.

Akhirnnya Halil mengalah, membiarkan Lisa bersama Numa. Ia akan menjemput Lisa nanti.

***

Halil sudah menunggu Lisa selama lima belas menit. Entah mengapa Lisa lebih lama di dalam sana. Halil segera berdiri melihat Lisa yang baru saja keluar.

“Tumben lama.”

“Minta ini,” kata Lisa mengangkat lembaran kertas di tangannya.

Halil mengangguk, ia tahu betul apa yang Lisa pegang, soal-soal latihan untuk ujian.

“Mau langsung pulang?”

“Iya, kenapa?”

“Duduk dulu aja, gue tau lo males pulang.”

Keduanya hanya diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lisa sedikit merasa take nak pada Halil, selama ini ia bersikap kurang baik pada sepupunya itu.

“Maaf ya.”

“Maaf kenapa?” Halil terkejut sekaligus bingung, tak biasanya nada bicara Lisa seperti itu.

Cheese LisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang