Seingatnya, ia bahkan sudah menutup kait jendela.
Lelaki dengan kemeja aswad lusuh itu mengerjap sebentar. Porsi cahaya dari bohlam minim sinar di atas kepalanya tidak seberapa, hanya, Jez baru bangun. Dan ia sadar penuh bahwa raganya tidak semestinya berada di sana, di atas bangku kayu usang yang hampir tiada pernah dibersihkan, satu-satunya saksi bisu di dalam rumah kaktus minimalis itu.
Jezamai Hwigi, bahkan sudah menutup gordennya ketika pagi. Hari ini dia ada jadwal pemotretan mendadak, jadilah rumah kaktus ini ditutup sedari mula. Tapi, sekarang apa? Ia malah terbangun di sini? Bukankah tadi ia sudah rebah di ranjang rumahnya? Kemeja aswad lusuh itu bahkan belum sempat dibuka, diganti.
Hey, Jez bahkan ingat kalau dia belum sikat gigi!
Lelaki bersurai merah ceri itu lalu bangkit, berdiri, menghampiri jendela yang terbingkai rinai sehabis reda.
Hujan. Dan Jez membencinya, sangat. Apalagi wanginya yang menusuk pekat.
Bahkan, dalam bunga tidurnya sekalipun.
Ya, Jez memang masuk kasta makhluk terpeka. Padahal, Gwen sudah membuat dimensi ini seolah nyata. Namun, gagal. Jez sudah menitiknya sejak awal. Ini hanya mimpi, dan tadi ia memang tidur di ranjang, bukan di kursi. Jez benar-benar masih sama, pintar dan semuanya, kecuali surai merah ceri itu. Helai yang seribu hari lalu masih senada kemeja aswad lusuhnya. Masih cepak. Masih tampan.
Ya, sekarang juga, sih. Apalagi, kalau dikuncir satu seperti itu. Tahu, kan, seperti model anak-anak nakal. Mau seperti apa pun, memang buat Gwen, lelaki itu tetap nomor satu.
Buatku, Jez memang masih segalanya. Tampan dan semaunya.
"Gwen?"
Tapi, malam ini tidak. Tidak tampan, tidak segalanya, tidak akan kuizinkan semau-maunya. Ini hariku, dan akan kutunjukkan padanya sesuatu: Semacam garis takdir yang harus dia tahu.
"Gwen, is it... you?" Dari bingkai jendela, ia lalu berjalan menghampiriku.
Pelan. Spasinya menjejak senyap. Maniknya memandangku rindu, sedang aku di ambang pintu mulai meragu.
"Gwen, kamu..." hingga linang itu kemudian jatuh begitu saja dari rahang tegasnya, membias terang bohlam.
Sekon ini, aku sungguhan dibungkam, terutama saat maniknya yang sudah basah menitik jejakku yang tak beralas sehelai benang pun.
"Demi Tuhan, Gwen," tinggal beberapa senti lagi, sebelum jemari lelaki itu meraba jejakku yang semu, dan aku kontan terhentak mundur demi menghindar dari sentuhan klimaksnya.
Demi Tuhan, Jez. Kamu tidak bisa. Kita, tidak lagi bisa.
"Bahkan dalam mimpiku, kamu masih enggan pakai sepatu," ujarnya, lalu, membuatku menitik tungkai sendiri.
Tragis, memang. Dan itulah yang seribu hari lalu terjadi di antara kami. Saat aku melempar sepatu pemberiannya.
Dan pergi.
"Jez, kamu tahu aku nggak datang buat mengenang apa pun, termasuk kamu."
"Kamu juga tahu bahwa pada yang mencintai, kenangan nggak pernah mati, Gwen."
Aku diam. Tidak akan kuizinkan Jez semau-maunya, tapi, sialnya dia memang masih jadi mauku.
"Kamu nggak pernah mencintai, Jez. Nggak pernah ada kata itu."
Giliran dia bungkam, tertunduk. Isak itu lalu mengisi jeda yang tiada pernah reda di antara kami. Jeda yang selalu ia coret sendiri dalam skenario semesta. Spasi yang kemudian memaksaku pergi, sebab terenggut darinya adalah pelajaran yang selanjutnya akan ia rekam baik-baik sebagai makna "hilang".
Jez, sebelum aku pergi, nyatanya kamu sudah lebih dulu jauh meninggalkan.
"Dengar, Jez," vokalku yang gentar kembali mengusik atensinya.
Masih dengan mengusap kedua kelopak, selama itu pula ia tidak punya kata 'berani' untuk sekadar memandangku lamat.
"Besok, kalau aku kembali ke duniamu, jangan pernah buat temu. Atau takdirku jadi milikmu. Mengerti?" Hingga aku sampai pada peringatan ini.
Membuatnya sekejap mendongak, ragu. "Maksudmu?"
Absen jawab. Responsku hanya berupa pandang iba. Sungguh, sayangku pada Jez bahkan sudah mengalahkan langit. Namun, semesta hanya ingin berlaku adil.
"Jangan sekali pun bertemu denganku, lagi. Mengerti?"
"Gwen---"
"Meskipun hanya buat mengakui perasaanmu yang terlambat itu, jangan pernah. Atau kamu akan lihat akibatnya."
Di luar duga, kontras dengan takutku yang mencela, lelaki bersurai merah ceri ini malah tertawa. Irisnya berpaling ke arah lain, menitik kaktus milikku yang masih ia taruh di atas meja kayu.
"Takdir itu?" Tantangnya, seperti sudah mengerti akan nasib yang menanti.
"Then, should we stay here, Gwen?"
Giliran irisku berpaling ke arah lain. Ke mana pun, asal tidak bersua rupa dengannya.
"Atau, aku bakal tunggu kamu pulang."
Bersama sisa kecewa yang sia-sia, aku kembali memandang basah manik pekatnya. Merekah candu; memberi izin pada semesta untuk mengecup bibirnya lembut, nanti, dengan takdir yang sudah Dia tulis di atas nama kami.
"Sampai bertemu, Jez."
Dan, selesai.
Bersamanya, berisik alarm lalu membawa Jez kembali pada ruang usia, pada waktu yang masih ada. Pertemuan kami selesai, tepat saat ia membuka kelopak, mencerna aroma kamar.
Ia sudah kembali pada ranjang tempatnya rebah, juga bekas bantalnya yang basah. Sekejap Jez mendesah, mengusap kelopak yang kini sembab. Tangannya lalu terulur pada nakas tempat si gawai berisik mendekam.
Ia menggulir layarnya malas, hendak mematikan notifikasi jenis apa pun, sebelum sebuah memo dari fitur kalender muncul:
"1000 Days: Rest in, Love"
🍂
Playlist 1:
The Overtunes - Berlari Tanpa Kaki
Jahe's:
Holaaaa~
Pertama, Jahe ucapkan selamat datang lagi^^
Untuk playlist, sebenernya wajib diputer pas kalian baca, terutama untuk beberapa chapter ke depan. Tapi kalau nggak mau nangis, jangan diputer deh mending :"
Heheee, semoga work ini nggak aneh yaa :(( Karena di sini Jahe bakal banyak bereksperimen sama apa pun, sama kayak buku 365247 di sebelah. Dan jujur ini tulisan yang pengen kubaca banget dari dulu, dan aku kembali ke habitatku, yaitu romens-angst :")
Iyaa yang dari kemarin udah husnuzan ini angst, kalian dapat piring cantik dari Gwen, tapi ngambilnya di kuburan minggu depan sama Jez, oke :")
See yaa^^
Oiyaa, buat yang belum mampir di sesi trailer dan starring, bisa cek chapt sebelumnya yaa :*
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANG
FanfictionJez bilang, nggak semua orang punya kesempatan. Buat sekadar nyiram kaktus, atau dengerin lagu-lagunya Tulus. Buat makan pisang goreng angkringan, atau pura-pura minum kopi biar jadi anak senja. Termasuk, nggak semua orang punya kesempatan buat bers...