"Kamu kekanakan, Jez. Kamu egois."
.
"Aku sudah bilang. Aku sayang kamu, lebih dari hubungan masa kecil kita. Lebih dari sayangku ke Reda. Aku sudah bilang."
.
"Besok, kalau aku kembali ke duniamu, jangan pernah buat temu. Atau takdirku jadi milikmu. Mengerti?"
.
Jez tertegun.
Mengerjap bahkan tiada sanggup, sementara kenang terputar berulang-ulang ibarat kaset lawas yang potretnya masih jelas.
Konversasi malam itu, yang sekelam marahku. Konversasi malam itu, yang sebodoh sayangku.
Dan peringatan malam kemarin. Kata siapa semesta gemarnya bercanda?
"Gwen?" Terlewat lirih, wanita di hadapan hanya mematung dengan kelopak membulat saat satu linang Jez luruh.
Puan ayu ini jelas tidak menahu, masih buram soal apa pun. Tapi, kami tahu---Jez bahkan lebih dari hafal soal manikku, rekahku, vokalku. Jez telah khatam dengan gesturku memainkan kancing baju atau apa pun yang melekat di pakaianku saat berbincang dengan orang baru.
Dan, wanita di hadapannya kini begitu. Maniknya, rekahnya, vokalnya, gesturnya memainkan gelang di tangan sebab tiada satu benda pun melekat di pakaian---saat berkonversasi dengan orang baru.
Benar, bagi si puan nan lugu, Jez hanya orang baru. Asing. Tapi, bagi si lelaki bersurai merah ceri ini, wanita di hadapannya adalah aku.
Semesta tidak main-main soal mengembalikan Gwen pada alur cerita Jez dalam wujud lain.
"Maaf, Mas... jadi mau beli tisu apa? Mas... nggak apa?"
Masih tertegun, linang Jez yang menguar kian liar menjadi respons yang cukup membingungkan bagi si puan, bahkan hingga satu menit bersilam.
Dua.
Dua seperlima.
Hingga akhirnya,
"Eh, ngapunten (maaf), Mbak," Sereda tiba, menepuk pelan bahu kawan dengan harapan bisa mengembalikan kesadaran si tuan, merangkulnya seolah tiada apa-apa, "Beli tisu yang gambar ayam kecil ini aja satu, sama tisu basahnya satu. Dados pinten, nggih (jadi berapa, ya)?"
Berusaha mengalihkan atensi pada tisu yang ditunjuk Reda secara asal, wanita itu kemudian grusak-grusuk membuka kantung plastik sambil berhitung.
"Dua puluh ribu aja, Mas," tuturnya, agak gemetar juga saat memberikan sekantung tisu pada Reda, meski ia masih tidak tahu apa.
Sementara lelaki bersurai kakao itu tampak pantas juga dapat penghargaan aktor pendatang baru terbaik, sebab mimiknya bahkan tak menyirat ragu apalagi kaget barang sejentik.
"Susuke mbotensah (kembaliannya nggak usah), ambil aja. Matur nuwun," tapi gestur buru-burunya tetap tidak bisa diatur, bahkan sangat kentara ia menyeret sahabat semata-cerinya untuk cepat-cepat menyeberang, "Ayo, Mas. Kita udah telat," sengaja pula ia kencangkan vokalnya, berharap bisa menutup kebingungan si puan.
Atau juga kebingungannya sendiri.
Reda bahkan tak henti menggumam zikir sesampai mereka di dalam mobil. Sejenak keduanya diam. Jez yang masih memandang kosong, dan Reda yang lalu menitik linang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANG
FanfictionJez bilang, nggak semua orang punya kesempatan. Buat sekadar nyiram kaktus, atau dengerin lagu-lagunya Tulus. Buat makan pisang goreng angkringan, atau pura-pura minum kopi biar jadi anak senja. Termasuk, nggak semua orang punya kesempatan buat bers...