Sereda sampai, seiring Dia mendekap tubuh si merah ceri sambil terisak pelan. Dia baru melepas Jez pada hitungan kesepuluh, sementara Reda bergeming di samping kendara yang diparkirnya asal.
"Maaf," sejenak Dia mengusap wajah yang basah, enggan menatap lelaki di hadap. Mungkin sebab malu, merasa nggak seharusnya ia memeluk orang sembarangan.
"Hey, it's ok," sementara Jez balas mengusap bahu Dia, pelan, "Aku baik-baik aja, nggak apa."
Dia diam. Jeda agak lama, hingga Dia memandang Jez lagi. Laki-laki itu tersenyum, berusaha meyakinkan bahwa dirinya masih normal dengan harap Dia berhenti khawatir.
Namun, Dia malah kembali menitik linang. "Saya antar Mas ke rumah sakit, ya? Mas pucat banget, lho. Benar nggak ada yang sakit?"
Jez menghela napas, mengangguk, "Cuma kaget aja tadi. Soalnya, kayak dejavu," lalu ia menunduk.
Sementara Dia membeliak, "Mas udah pernah tabrakan kayak gini sebelumnya?"
"Oh, nggak, bukan aku tapi...." Jez kelabakan meralat, namun setelahnya, ia hanya diam memandang Dia lekat. Dia ikut diam, sejenak balas memandang, lalu tergesa menunduk sambil mengusap pipi.
Jez masih menatap, dan pada sekon itu, aku tahu senyumnya menyimpan banyak rindu.
"Dia, boleh tanya sesuatu?"
Dia mendongak, bertemu dengan manik pekat Jez yang tanpa ia duga sedikit berkaca-kaca. "Bo—boleh, Mas. Apa?"
"Kamu... kenapa cuma antar-jemput Ibu ke gereja? Maksudku, kenapa kamu nggak ikut Ibadah juga?"
Agaknya Dia terenyak, meskipun Dia sudah berekspektasi akan ditanya demikian cepat atau lambat. Dan, baginya itu bukan pertanyaan tabu.
"Saya muslim, Mas. Rumah Tuhan saya, bukan di sana," Dia tersenyum.
Giliran Jez terentak, samar kelopaknya membulat. "Kamu... muslim?"
"Muslimah, sih, lebih tepatnya. Tapi, iya. Ibu sama Bapak beda agama. Saya ikut Bapak, adik saya ikut Ibu."
Jez masih bengong hingga sekon-sekon berlarut, sementara Dia pura-pura membenahi kaus kaki. Dalam hening, gelakku kemudian tumpah. Bukan apa-apa, hanya, aku tahu Jez sudah berharap lebih pada Dia.
Sedikit narasi. Dulu, ekspektasi Jez padaku hanya satu. Rajin bertemu Tuhan, menjadi lebih taat, dan mengurangi atau bahkan berhenti memuja oppa-oppa dari dunia maya. Oh, ralat, setelah kuhitung ternyata harapan Jez padaku lumayan banyak. Dan, aku nggak bisa memenuhi syarat-syarat wajib itu, terutama untuk berhenti dari hobi menulis karakter fiksi.
Bukan memuja ya, Jez. Kamu, harus tahu.
Dengan Dia, Jezamai juga tampak memiliki harapan yang minimal sama. Namun, semesta sungguh gemar bersenda. Tuhan sudah memberi Jez pilihan yang lebih sulit dari sekadar hidup atau mati.
"Mas Jezam," hingga vokal dengan intonasi serendah mungkin memutus lamunan si empunya nama.
Jez spontan menoleh, bersua dengan paras Reda yang dingin. "Eh, Da? Kok, di sini? Udah selesai emang pengajiannya?" Ia mengumbar haha-hehe, seperti bocah yang ketahuan main di comberan oleh bapaknya yang galak.
Reda enggan menjawab, masih memandang kakak pungutnya datar.
"Ehm, Mas Jez. Karena Mas Sered—maksud saya Mas Reda, udah di sini, saya lebih baik pamit. Ibu pasti udah nunggu. Nggak apa, kan, kalau saya pergi?"
"Nggak apa, Ayu," Reda menyambar. Spontan Dia mengalihkan pandang, canggung. Belum pernah ia melihat Reda dengan mimik sekaku itu.
Pun, kali terakhir aku melihat rahang Reda mengeras, adalah di hari pemakamanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANG
أدب الهواةJez bilang, nggak semua orang punya kesempatan. Buat sekadar nyiram kaktus, atau dengerin lagu-lagunya Tulus. Buat makan pisang goreng angkringan, atau pura-pura minum kopi biar jadi anak senja. Termasuk, nggak semua orang punya kesempatan buat bers...