"Vol. 6. A Due"

142 8 56
                                    

Kembali pada sembilan lewat dua puluh lima, pagi itu, usai tuntas misi penyelamatan dari sosok Geger dan seperangkat ulahnya.

Padahal, kalau dipikir-pikir, laki-laki hombreng tadi nggak melakukan apa-apa. Tapi dampaknya cukup mengerikan hingga membuat Dia mengegas dalam kecepatan enam puluh kilometer per sekon, membuat ibu hampir terbang.

"Yu, Yu! Jan tenan koe ki kok (memang benar-benar kamu tuh)!" Dumal beliau begitu sampai di seberang gereja yang sudah ramai. Sementara anaknya santai menurunkan standar motor sambil bersungut-sungut.

"Jare mau njuk cepet, bareng cepet-cepet nesu (katanya tadi minta cepet, setelah cepet-cepet marah)!"

"Yo tapi ra ngono kuwi (ya tapi nggak begitu juga)! Nih, barang Ibuk jadi ketinggalan semua!" Ibu lanjut menunjukkan isi tasnya---yang kalau kutilik, sih, sebenarnya lebih dari lengkap.

Dia menghela napas panjang, "Yowis, aku langsung (yaudah, aku langsung balik). Mengko tak petuk jam siji, koyo biasane Lik Rus metuk (nanti kujemput jam satu, kayak biasanya Lik Rus njemput)."

Nihil respons, puan kembarku lalu acuh tak acuh kembali mengegas motor. Sementara di tengah amuk klakson, ibu hati-hati menyeberang sambil lanjut merogoh bagian tas terdalam, mencari sebuah benda bernama sapu tangan.

Enggan terlambat, ibu nekat melangkah cepat, padahal atensinya masih berlabuh penuh pada kacu yang tidak kunjung ketemu.

Hingga pada sekon kesekian, jadilah.

"Aduh!" Vokal ibu mengudara cukup kencang, bersama rasa sakit yang agaknya membuat seseorang di depan ibu berjengit. Lelaki dengan tubuh lumayan---ah tidak, bagi ibu tinggi sekali---itu, spontan berbalik.

Si merah ceri.

"Ibu nggak apa?" Malah dia yang panik. Kaldera turut serta memandang sangsi juga.

"Aduh, nggak apa, Le (Nak). Kan, ibu sing nabrak. Kamu nggak apa?"

Jez lanjut merekah tulus, "Mboten, Bu (Enggak, Bu)."

"Ibu lagi nyari sesuatu, nggih? Buru-buru?" Bersambar hipotesa milik Kaldera, yang spontan diiyakan,

"Iyo, Le. Tadi keburu gara-gara anak Ibuk, jadi lupa nggak bawa kacu."

"Kacu? Oh, ini, saya ada, Bu..." sebagai umat dengan kasta makhluk terpeka, Jez langsung merogoh saku kemeja aswadnya, "Bukan sapu tangan, sih. Dan... agak kecil juga kayaknya. Tapi, kalau Ibu mau..." ia ragu mengulurkan sekotak tisu seukuran saku.

Barang setengah sekon, ibu memandang lamat entitas di hadapan. Bukan keraguan, bagiku mimik-manik ibu cukup sulit didefinisikan.

Hingga beliau lalu merekah senyum, seolah tanpa berpikir panjang sedikit pun,

"Namamu, siapa?"

Membuat Jez agak membelalak, "Nama?" Tidak sangka bakal diajak kenalan, "Ah, saya... Jez. Jezamai Hwigi."

Giliran kelopak ibu membulat, kali ini cenderung bingung, "Ji... siapa?" sebab pelafalan nama Jez memang sulit dicerna, apalagi oleh orang tua.

Oh, iya, sekadar tanya. Kalau kamu, mengeja nama 'Jezamai Hwigi' bagaimana? Kata dia, ejaan yang benar itu "Ji-ze-mei", padahal panggilannya Jez seperti kamu melafal jazz. Kalau kataku, sih, ya tetap dilafal Jezamai apa adanya begitu. Makanya, dia suka marah. Apalagi, kalau sudah kupanggil Jeje.

"Panggil Jez aja, Bu. Biar sederhana," haha-hehenya lanjut mengudara, sementara ibu sudah langsung akrab dengan adegan sabet-menyabet pundak.

"Bisa aja kamu tuh. Baru kali ini loh, Ibu denger nama Ji.... siapa tadi? Dan beneran, seganteng orangnya," beliau tampak malu-malu, bersambut kekehan miris Kaldera sebagai pihak ketiga.

KENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang