"Vol. 7. Counterpoint"

77 5 40
                                    

"Ibu pulangnya naik apa?" Tanya Jez begitu ia dan ibu sampai di ujung pintu, menjadi yang terakhir keluar.

Kaldera sudah haha-hehe dengan ibu-ibu jemaat lain, sementara Jez sedari awal hanya memperhatikan ibu yang celingukan.

Kalau mau tahu, tadi, ketiganya berujung menuntas Ibadah bersama, dan sudah bikin janji mau bersama-sama lagi minggu berikutnya.

"Ini, dijemput anak Ibu. Ning ndi iki bocah, jare arep metuk jam siji (kemana ini anak, katanya mau jemput jam satu)..." samar-samar ibu mendumal pada diri beliau sendiri, sambil pandangnya tetap teredar ke sudut per sudut jalan.

Menyadari itu, Jez langsung mengeluarkan gawai dari saku, "Ibu hafal nomornya?" Membuat ibu spontan beralih mendongak, memandang Jez yang menjulang. Sahabatku itu dengan serius membuka kunci layar, sedang ibu tampak berpikir.

"Nomor, ya... aduh, sik-sik (bentar-bentar)..." Beliau kemudian mengubek-ubek tas mini, mencari sesuatu yang lebih penting dari kacu. Ibu ingat pernah minta Dia menuliskan nomornya di selembar kertas, tapi, entah di mana gerangan berada.

"Atau bareng sama kita aja, Bu," sebuah usul lalu mendadak muncul dari Kaldera.

Ia tampak sudah rampung urusan dengan haha-hehenya, menghampiri ibu dan Jez yang sedang agak bingung, dengan ekspresi kontras. Senyum pasta gigi itu memang tiada pernah lepas.

"Rumah Ibu di daerah Sawahan, kan? Sama Brian Elektronik, masih jauh?" Lanjutnya.

Kelopak ibu agaknya membulat, "Tahu daerah situ juga, Nak Kal?" Sekilas pelafalan kata Nak-Kal membuatku ingin tertawa.

Ibu tanya begitu karena tadi mereka sempat bilang kalau rumah keduanya ada di wilayah pusat kota.

"Saya sering lewat situ, Bu. Beli ayam bakar, hehe..."

"Saya... kemarin juga... habis ada pemotretan, Bu, di daerah situ," Jez mengimbuh, sedikit mengawang. Memori soal tisu bergambar ayam dan gadis penjualnya mendadak berkelebat jelas.

"Oh, iya? Pemotretan?" Dan ibu tampaknya salah menaruh atensi.

"Ah, tadi dia belum cerita, nggih (ya)? Dia ini model kelas borjuis, loh, Bu," Kal semangat mengompor.

Ibu jadi semangat juga menepuk pundak si merah ceri, seolah membangunkannya dari memori-memori akan Dia yang Jez belum tahu siapa. "Woalah.... ya pantes! Ibu sempet mikir tadi, kenapa rambutmu diwarna begitu, mana gondrong. Buat keperluan foto, tha?"

"Hehe, inggih, Bu."

Dalam situasi hati yang taksa, Jez biasanya memang hanya akan ber-haha-hehe saja. Sementara ibu lanjut menggoda, juga bertanya permisalan-permisalan yang cukup penting, seperti kalau surai Jez dikembalikan jadi hitam dan dicukur rapi, apa malah tidak lebih tampan---dan aku sepakat---sambil menunggu Dia datang.

Hingga dering gawai Kal lalu membawa pemuda penuh senyum itu menjauh beberapa senti, " Bentar, ya, Jez..." serius merespons telepon dari pewicara yang tampaknya repot membahas soal kerja.

Jez singkat mengangguk dan lanjut fokus menanggapi ibu yang masih belum henti memuji. Bukan berarti dia gila pujian, sih, tapi Jez merasa nyaman saja berbincang dengan ibu.

Sampai tiga sekon bersilam, klakson kendara Dia lalu terdengar; membuat ibu spontan mengalihkan pandang karena memang bunyinya beliau hafal, dan manik Jez mengikuti distraksi ibu.

Pada sekon itulah.

"Nah, itu anak Ibu udah dateng."

Jez tertegun sampai lupa mengerjap. Kulihat ia bagai disambar kilat dua kali. Jez ingin percaya kalau itu bukan fakta, semacam mimpi dari dimensi lain yang kubuat lagi untuknya. Namun, mimik Dia yang juga tertegun cukup membuatnya yakin pada temu yang alpa semu.

KENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang