Lepas sua pagi itu.
Esoknya, Jez masih enggan lupa; tersurat jelas lewat caranya menyiram haworthia milikku dengan kelopak sembab. Entah air dari semprotan atau pelupuknya yang pada fajar ini tumpah ke tanah, tapi, tidak seharusnya demikian.
Tidak seharusnya haworthia milikku disiram sampai menggenang. Dan tidak seharusnya ia menguar linang sebab pertemuan yang menyenangkan, bukan?
Jez, apa kamu benar-benar lebih takut mati daripada kita bersua lagi?
"Tok, tok," hingga vokal manusia yang meniru arbitrer ketukan pintu---yang bagiku selalu terlewat merdu, membuat Jez kontan mendongak pada si tuan.
Kaldera Alif, dokter muda yang pagi ini hendak menumpang pergi ke gereja sebab mobilnya enggan diajak berkompromi. Rekahnya sudah selebar gorden jendela yang tersingkap saat ia tiba.
Sementara Jez lalu buru-buru menyingkirkan sisa linangnya, "Eh, Kal. Kukira bakal agak siang."
Masih dengan posisi malangkrik di bingkai pintu, haha-hehe Kaldera tampak menyirat sesuatu, "Jam 10, kan? Mana bisa lebih siang. Apalagi, saya pengen lihat itu," kan, dagunya kemudian mengedik pada si cantik Hemi, kaktusku.
Benar, dulu kami sepakat untuk menamainya begitu.
"Oh, mau foto?" Jez melanjutkan aktingnya sebagai pemuda riang nihil putus asa, lalu, bangkit mempersilakan Kaldera yang kian terekah tinggi senyumnya.
"Eh, gratis tapi, nih?" Jeda Kal lantas membuat gelak Jez sungguhan mengudara, cukup maklum.
Jez terbiasa dibayar mahal untuk sekali potret, tapi, itu tidak berlaku untuk kaktus-kaktus kami.
Maka dengan penuh syukur, sahabat Jez yang karib itu mulai berkelesot ke sana-kemari mencari sudut terapik. Sedikit ragu menyentuh dedaun Hemi, lalu mesem-mesem sendiri. Sampai sebegitunya ia memuja. Kemudian lanjut pada potret satu-dua-tiga, yang tiada henti hingga si tuan merah ceri berkata,
"Kemarin, seribu harinya Gwen," mencuri penuh atensi.
Masih pada posisi fotografer amatirnya, Kaldera mendongak pandang.
Diam, adalah respons pertama dari lelaki itu yang kutahu bermakna ragu. Kal juga berduka sepenuhnya hingga tidak tahu harus berujar apa.
Ah, sebenarnya hubunganku dengan Kaldera tidak serekat spasinya dengan Jez. Meski sejauh pengetahuanku, mereka juga hanya bertemu tiap Ibadah Minggu. Namun, tampaknya mereka cukup cepat bertukar nyaman, hingga bertukar banyak sukar. Posisi Kaldera kurasa hampir setara Reda, kini.
Bedanya, masa perkenalan kami singkat, hingga aku lalu pergi lebih dulu.
"Dia sudah bahagia, Jez. Pasti. Nggak ada rasa sakit lagi. Pun, marah-kesalnya sama kamu," Kaldera lalu menjeda, parasnya kembali mendongak pada lawan bicara, "Gwen hanya akan ingat itu, sebagai memori baik."
Giliran Jez diam. Maniknya lagi-lagi menggenang.
Sedang aku di sudut semesta lain merekah senyum dan membiarkan linangku membias terang fajar.
Kaldera seharusnya menjadi dokter jiwa saja, kurasa.
"Kayaknya Minggu pagi bakal macet, Kal. Yuk, berangkat sekarang."
Dan lelaki yang tiada absen haha-hehe itu menyambut baik pengalih atensi Jez, menurut dengan segera meninggalkan Hemi, meski "ikhlas" lalu menjadi kata yang teramat kontras.
🍂
Begitu pula bagi si puan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANG
FanfictionJez bilang, nggak semua orang punya kesempatan. Buat sekadar nyiram kaktus, atau dengerin lagu-lagunya Tulus. Buat makan pisang goreng angkringan, atau pura-pura minum kopi biar jadi anak senja. Termasuk, nggak semua orang punya kesempatan buat bers...