Maka, Reda menyerah. Semesta memaksanya kalah. Harapannya hanya tinggal doa-doa penangkal mala yang kerap dilafal saat Jez minta *ngiras es gempol, juga saat manik minimalis sahabat kami itu memandang Dia dalam senyum tak terbantah selama sepekan penuh.
Singkat narasi, si merah ceri minta Reda mendaratkan mobil di depan Brian Elektronik setiap hari, sementara mereka melipir ke warung es gempol Mbok Darmi. Ya, kebetulan juga, sih. Jez memang ada jadwal potret di daerah Sawahan selama satu bulan.
Bukan hanya sepekan, tapi sebulan. Bayangkan betapa menderitanya Reda sebagai peran figuran.
Sebab alibi yang kuat itu, Reda jadi kena skakmat, nggak bisa menolak ajakan makan es gempol tiap hari. Tiap pergi menunaikan jadwal potret, Jez selalu memaksa lewat dan mampir dulu. Kalau tidak, ia mengancam mau pasang gaya rebahan saja selama pemotretan.
Dasar kekanakan.
Tapi, bukan gempol sumber masalahnya. Sungguh bukan soal over santan atau Mbok Darmi yang kerap memberi Reda es gempol less sugar.
Melainkan, Reda masih sangsi pada semesta. Reda takut dengan Dia.
"Mas, besok-besok beli es buah deket perempatan aja, ya," bisik anak pencinta kakao itu pada hari Sabtu, akhirnya, hampir hanya terdengar oleh semut-semut merah di dahan mangga kalau Jez tidak inisiatif mendekatkan daun telinga.
Sambil masih melirik Dia yang sibuk membungkus tisu, Jez mengernyit, "Kenapa? Bukannya kamu suka Mbok Darmi?"
"Hus!"
Spontan Jez menjauh hingga pantatnya hampir luput dari bangku, "Ya terus kenapa?"
"Bosen aku, Mas," kembali dalam mode ASMR.
Setakutnya Reda pada Dia, masih lebih sangsi ia dengan Mbok Darmi.
"Da, rungokno (dengerin)," si merah ceri lanjut berisyarat supaya Reda mendekat, sementara ia mewejang sambil berbisik, "Nek bosen iku ngomong (kalau bosen itu ngomong). Jangan terus Mbok Darmi kamu tinggal gitu aja!"
Spontan sendok di tangan Reda melayang mengenai jidat pewicara dengan bunyi plak mengerikan.
"Asu!"
"Taik koe, Mas, Mas!" Berujung pada lempar pisuhan.
Reda betulan sedang dalam mode murka. Kalau kamu punya indra lebih dari lima, maka kamu akan melihat kobaran asap mengepul dari lubang hidung mbangirnya.
"Tapi, aku nggak bosen, Da," balas Jez, lalu, sambil mesem-mesem memandang ke arah Dia yang kali ini dihampiri seorang lelaki. Sementara Reda masih bersikap bodoamat dan membuang pandang ke arah Mbok Darmi.
"Morning, Ayuku sing paling ayu..." cengiran Gerda lolos bersama lesung pipit yang sebetulnya cukup menawan.
Sayang, kemeja motif polkadot sewarna jeruk florida itu tampak menghalangi pujian siapa saja. Atau malah menarik atensi Reda hingga tekanan darahnya kini jadi serupa gelombang tsunami.
Aku sontak menahan gelak.
"Opo meneh (apa lagi)?"
"Uwis maem (udah makan)? Aku punya kupon ayam geprek, beli satu gratis pete."
Santan dalam mulut Jez spontan tersembur secara liar. Ia terbatuk heboh sampai Reda agak panik mengambil secarik tisu, "Mas, gempolnya ketelen???" Sementara Dia menoleh dan hendak menghampiri keduanya.
Gerda sigap mengambil langkah lebih dulu dengan menahan satu pergelangan Dia dan membuat diriku sendiri membelalak. Laki-laki itu sudah berada pada jarak lima senti—mungkin, anggap saja saking dekatnya—tepat di hadapan Dia, tanpa berniat menjauh semili pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
KENANG
FanfictionJez bilang, nggak semua orang punya kesempatan. Buat sekadar nyiram kaktus, atau dengerin lagu-lagunya Tulus. Buat makan pisang goreng angkringan, atau pura-pura minum kopi biar jadi anak senja. Termasuk, nggak semua orang punya kesempatan buat bers...