"Vol. 14. Apaise"

61 2 2
                                    

Di lain sisi, aku tahu Dia sedang berusaha menggunakan waktunya semaksimal dan selama mungkin di dalam toilet. Sekarang musala sudah penuh menjelang Asar, dan ibu sama sekali nggak bermasalah dengan itu. Beliau hanya punya masalah dengan putri sulungnya, yang kalau tidak keluar dalam satu menit ke depan, maka ibu enggan peduli pada kerusakan macam apa pun yang bakal terjadi dengan pintu toilet musala sore hari ini.

Sebab sudah hampir setengah jam, bayangkan. Adegan berpelukan Jez dan Reda bahkan sudah rampung, dan Dia serta ibu sebetulnya sudah berada di halaman rumah sakit jauh sebelum Dokter Kaldera tiba memeriksa. Kalau aku jadi ibu, akan kukutuk Dia jadi perumahan mewah.

Atau, tidak. Aku berterima kasih penuh pada Dia hari ini. Aku tahu Dia rela berlama-lama di toilet hanya buat menghindari Jez dan nggak ingin tampak kelewat perhatian terhadap laki-laki itu jika mereka datang lebih awal. Apa yang bakal si merah ceri pikirkan kalau Dia mendadak muncul di sana dan ibu berteriak-teriak heboh mengguncang lobi IGD, padahal sebelumnya Dia sudah memastikan kalau Jez memang baik-baik saja?

Namun, lagi, kalau Jez baik-baik saja buat apa ia dibawa kemari? Itu yang Dia pikirkan, sehingga Dia nggak jadi minggat diam-diam.

Mungkin aku juga nggak jadi berterima kasih, dan mendukung ibu seribu satu persen kalau mau mengutuk Dia jadi batu akik.

"Kurang suwe leh mu ngising (kurang lama kamu buang air besarnya)!" Sarkas ibu begitu Dia membuka pintu toilet dan memakai sepatu di luar batas suci.

Bibir gadis itu mengerucut, "Masih untung nggak kutinggal pulang."

Ibu balas memukul lengan Dia sampai berbunyi plak mengerikan, beruntung sudah lewat azan. Dia mendumal sebal.

"Lagian, kan, udah kubilang! Mas Jez baik-baik aja, nanti aku telepon Mas Sered—maksudku Mas Reda deh, biar Ibu lega."

"Kan, yang sakit si Jez, bukan Reda, ngapain kamu telepon Reda? Lagian siapa, sih, Reda? Wis (sudah) ayo cepet!" Ibu lalu menarik sebelah tangan Dia dengan kesabaran nihil, melesat ke lobi IGD kurang dari tiga menit, dan Dia otomatis terlonjak demi sebuah vokal kebapakan yang tiba-tiba menyapa nama bapaknya.

"Mbak Joko?"

Ibu langsung menoleh, padahal Dia sudah mau berpura-pura tidak ingat dengan nama bapak sendiri.

"Loh, Mas Dru? Praktik juga hari Minggu, Mas?" Ibu yang balas menyapa, bersambut kekehan.

"Inggih (iya), Bu, jadwal jaga niki (ini). Bu Joko sama Mbak Joko kok di sini? Bapak napa mondok (apa dirawat inap)?"

"Mboten (enggak), Mas. Ini, mau njenguk—"

"Loh, Ibu baru sampai?" Kal menyela bersama jubah kebesarannya, membuat ibu terpesona. Agaknya beliau mulai bingung siapa yang mau diangkat jadi mantu. Tunggu sampai beliau bersua dengan Sereda.

"Dokter Alif kenal Bu Joko sama Mbak Joko juga?" Giliran Dru bertanya, membuat ibu dan Dia sedikit mengerut dahi. Mereka belum terbiasa mendengar nama Dokter Alif di area medis.

"Oh, iya, bapak Dia juga pasien HD di sini, ya, Dru? Siapa namanya?"

"Pak Joko," Dru membalas datar. Mungkin Dokter Alif juga belum mengenal semua pasiennya bahkan meski Dru sudah menyapa ibu dan Dia dengan inisal nama Joko.

"Nah, tolong dirawat dengan baik ya, Dru," Kaldera lalu balas menepuk bahu Dru dan bagiku ini adalah isyarat supaya anak rajin itu bisa cepat pergi dari sana, entah kenapa.

"Keadaan Mas Jez gimana, Mas—maksud saya, Dokter?" Sementara Dia sudah nggak sabar ingin to the point dan melarikan diri dari perkenalan ala-ala ini. Dru masih di sana, menjadi saksi bisu siapa sebetulnya pasien dramatis mereka di sore hari itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang