"Vol. 11. Groove"

49 4 30
                                    

Minggu pagi.

Seperti biasa, Dia mendapatkan jatah bebasnya, sebab Ibu harus ke gereja dan Dia nggak mungkin mendorong gerobak tisunya pulang-pergi sendiri. Apalagi, hari ini katanya Nana mau mampir, mau mengajak Dia makan nasi padang.

"Heh, Ju! Kok wis teka (kok udah sampai)?" Dia membuka pintu sambil sebelah tangannya menjumput selembar kaus kaki yang entah bagaimana caranya nyelempit satu di bawah meja.

Nana—biasa Dia sapa Juju—sejenak bengong di teras rumah, meskipun nggak merasa heran disuguh pemandangan demikian. "Yaampun Jum, ilang meneh kaos kakimu (hilang lagi kaus kakimu)?"

"Wis ketemu (sudah ketemu)," dan Dia menunjukkan selembar kaus kaki merah jambunya dengan bangga.

Nana kemudian masuk, memilih duduk lesehan di karpet biru bergambar lumba-lumba, menunggu Dia yang masih heboh berebut sisir dengan Ibu.

"Ibuk mengko dipetuk Lik Rus (Ibu nanti dijemput Lik Rus)?"

"Lha apa arep dipetuk Geger (lha apa mau dijemput Geger)."

Dia otomatis manyun, "Tak petuk wae (kujemput aja)."

Giliran Ibu diam. Nana juga diam-diam mencuri dengar, hingga kawannya yang sudah siap makan nasi padang itu muncul dari balik gorden dapur.

"Ju, mengko rausah ning ngendi-ngendi yo (nanti nggak usah ke mana-mana ya), aku mau jemput Ibuk ke gereja," Dia mengatakannya sambil menyesakkan botol minum kecil ke dalam tas cokelat muda yang tak kalah kecil. Aku tahu Dia hanya sedang menghindari salah tingkah.

Sementara Ibu lalu muncul, mesem-mesem penuh intrik ke arah Nana.

"Yowis gek ndang mangkat wae naknu saiki (yaudah buruan berangkat aja kalau gitu sekarang)."

Dia mengangguk, tergesa menyambar sepatu, lupa berpamitan dengan Ibu. Hanya Nana yang pamit mencium tangan, padahal tadi ia yang pengin cepat-cepat pergi demi menginterogasi Dia soal alibi menjemput Ibu ke gereja.

Sambil menghidupkan mesin motor, Nana alias Juju akhirnya langsung menembak, "Kamu mau ketemu Jez, kan?" Tepat sasaran. Kalau kalian mau tahu, Nana memang ibarat Reda versi betina.

Sementara Dia masih pura-pura menjejalkan sesuatu ke dalam tas cokelat mudanya, nggak buru-buru naik ke motor dan itu membuat Juju si satset menghela napas murka.

"Jare bakal sial nek ketemu terus (katanya bakal sial kalau ketemu terus)?"

"Kata Ibuk nggak ada pertemuan yang membawa sial," Dia lalu naik di atas kendara, diam-diam tersenyum mengingat sesuatu yang seharusnya Dia lupa.

Nana nggak melihat mimik Dia yang bahagia itu, nggak melihat pipi Dia yang sekarang bersemu merah, nggak menahu soal insiden Geger kemarin siang. Kendara melaju begitu saja.

"Kamu suka sama Jez?" Di persimpangan gapura Nana kembali mencecar.

Dia pura-pura nggak mendengar.


🍂


Dari sisi Jezamai Hwigi, seharusnya telinga anak itu gatal-gatal saat ini. Katanya ada sindrom demikian kalau kita sedang dibicarakan orang. Tapi, aku melihat Jez masih baik-baik saja. Nggak ada tanda-tanda ia mau garuk-garuk telinga, lebih-lebih hari ini si merah ceri memakai setelan kardigan formal yang tidak cocok untuk perilaku demikian.

Ia sedang membuka pintu mobil, bergegas menyalakan mesin. Kendara melaju tak lama, dan gawainya berdering saat ia melintas di kilometer sembilan.

"Halo, Kal?"

KENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang