02: Yedam

1.9K 272 17
                                    


Napas Yedam semakin berat ketika kakinya menapak di teras rumah. Pandangannya terlalu kabur, karena kepalanya yang mulai memasang gambaran semu seakan dunia sedang berputar.

Tak cukup hanya kaki yang ia gunakan sebagai penegak tubuh, tangannya kini sudah ikut terulur untuk menopang badannya diantara pilar beton di teras.

Rumahnya ini tak bisa di bilang kecil, bahkan faktanya Yedam ini bisa di katakan sebagai orang yang termasuk jejeran dari kalangan atas. Sedikit mengherankan kenapa pemuda itu mencari pekerjaan sampingan, padahal uang sakunya masih bisa di katakan cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Tangannya perlahan terulur untuk mengetuk pintu besar berbahan kayu mahoni itu, terlihat mewah karena ukirannya yang unik.

Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluhan terlihat di ambang pintu, tersenyum ramah menyambut kepulangannya.

Andai saja yang menyambut kepulangannya itu ibu kandungnya sendiri, bukan malah pelayan keluarga mereka, pasti kebahagiaannya akan berlipat kali ganda.

"Den Yedam udah pulang?," Tanya bibi Ahn yang sudah mengetahui siapa tamu yang datang di jam segini.

Di rumah ini, hanya Yedam yang jika sampai akan mengetuk pintu bukannya malah menekan bel. Terlebih asisten rumah tangga itu sudah tahu jika tuan mudanya ini bekerja sampingan di sebuah kafe, membuatnya terlampau sering pulang jam segini. Itu sebabnya bibi Ahn langsung membuka pintu tanpa ragu.

Yedam tersenyum menyambut sambutan sederhana dari bibi Ahn, tak berminat sama sekali membuatnya ikut khawatir karena keadaannya.

Anggukan ia berikan sebagai bentuk jawaban dari sapaan itu. Dengan segera kakinya menapak masuk, tak ingin berlama-lama merasakan hawa dingin di luar.

"Eomma sama Appa dimana bi?," Tanya Yedam yang kini berjalan secara beriringan dengan bibi Ahn.

Masih dengan senyum yang sama bibi Ahn menjawab, "di kamar den Jeongwoo, den"

Mendengar hal itu Yedam hanya bisa tersenyum sendu, tetapi setelahnya sebisa mungkin ia bereaksi seperti biasa saja—tak ingin membuat bibi Ahn lebih khawatir. Padahal nyatanya wanita tua itu menyadari senyum tuan mudanya ini, karena sejak kecil dialah yang mengasuh Yedam, membuatnya hafal dengan seluruh tabiat dan tingkah laku si sulung satu ini.

"Den kok mukanya pucat?" Tanya bibi Ahn yang baru menyadari kontras warna kulit wajah Yedam itu, terlebih bibirnya yang kini terlihat sedikit membiru.

"Kan di luar dingin bi," kilah Yedam cepat, "udah ya bi, Yedam naik, mau ngerjain tugas. Jangan nunggu Yedam, bibi langsung tidur aja ya. Yedam juga sudah makan tadi" sambung Yedam yang kini memberikan ciuman kilat di pipi wanita tua itu, lalu berlari cepat menaiki tangga.

Bibi Ahn tersenyum, semakin terbiasa dengan tingkah Yedam yang seperti tadi. Tentu saja wanita itu segera menuruti perintah tuan mudanya, memutuskan kembali menuju kamar di belakang dekat dapur untuk beristirahat.

Tanpa tahu jika Yedam segera menjatuhkan diri ke lantai setelah menutup pintu kamarnya.

Tangannya terulur menuju Surai kecoklatan miliknya, sedikit mengerang menahan sakit. Kepalanya benar-benar terasa sakit luar biasa sekarang.

Napasnya mulai tersengal, sakit itu membuatnya terasa ingin mati. Bahkan ia sudah tak bisa merasakan ujung jemari kakinya saat ini. Dengan cepat pemuda kelahiran Mei itu membuka tasnya, mencari sesuatu yang mungkin tertimbun dengan seisi tasnya.

Tanpa pikir panjang ia segera membalik ransel berwarna hitam itu, mengabaikan semua buku yang kini mulai tercecer tak beraturan di lantai kamarnya. Merasa lega ketika melihat sebuah botol yang menggelinding menuju kakinya, dengan segera jemari lentik itu membuka penutupnya dan mengambil isinya, menegak beberapa isinya tanpa air.

Aspirin, itu lah label yang merekat di botol berlebel merah itu. Obat penghilang rasa sakit yang belakangan sering diminumnya. Jika dipikir-pikir ini aneh, bukannya obat pusing atau sejenisnya yang Yedam konsumsi, tapi pemuda itu justru langsung membeli Aspirin ke apotek setelah mencari efeknya di google. Dan walah, obat itu benar-benar ampuh untuk menghilangkan rasa sakitnya.

Jika di tanya kenapa dia tidak ke dokter?, Jawabannya ia tak memiliki waktu luang untuk ke tempat dengan fasilitas umum itu.

Jam sekolah saja sudah cukup padat, terlebih ia harus bekerja part time di hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Sementara hari lain, ia punya kursus belajar hingga malam di hari Senin dan Selasa, lalu kursus musik di hari Kamis dan hari Jum'at waktu khusus yang tak akan pernah di ganggu gugat, karena ia harus menemani sang adik terapi di rumah sakit. Benar-benar tak ada satu pun waktu yang tersisa hanya untuk dirinya sendiri.

Tapi bukannya tak ada waktu, Yedam lah yang memilih mengisi semua waktunya, itu sebabnya ia mengambil kerja paruh waktu. Alasannya hanya karena ia tak mau berlama-lama di rumah itu, terlebih dalam kesendirian.

Mungkin tunggu nyawanya sekarat dulu baru ia berkunjung ke rumah sakit, bukan sebagai wali tapi sebagai pasien?. Yedam kerap kali tertawa jika memikirkan hal itu.

"Ah, besok ada ulangan" ringis Yedam yang mengingat jika besok adalah hari Kamis. Dengan segera pemuda kelahiran Mei itu bangkit setelah merapikan buku-bukunya, berjalan menuju meja belajar dan menatanya disana.

Pusing dan sakit di badannya memang sudah hilang, tapi demamnya ia rasa masih cukup tinggi. Tentu saja mandi dapat menolongnya.

Dengan cepat pemuda itu menyelesaikan mandinya, segera berpakaian lalu mendudukkan diri di depan meja belajar. Sejujurnya ia belum makan malam, tapi jika ia turun untuk makan, maka itu akan menghabiskan waktunya. Jadilah ia memilih mengabaikan perutnya yang kosong dan langsung membuka buku.

Yedam itu tipe orang yang tak ribet. Tubuhnya bisa dengan mudah menyesuaikan diri. Jika satu sisi tubuhnya butuh perhatian, maka sisi itu tak akan merepotkan sisi lainnya.

Sama seperti perutnya. Perutnya melilit minta diisi sekarang, tapi hal itu sama sekali tak mempengaruhi otaknya yang masih terus bisa menampung semua informasi di buku. Tak menutup fakta jika ia ini sebenarnya anak yang cerdas.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan waktu satu dini hari, hampir tiga jam penuh ia tahan duduk di meja belajar. Membuatnya pegal dan segera menyusun semua buku untuk di bawanya ke sekolah besok.

"Hari ini cuma bisa sampai jam segini, karena mata ku benar-benar berat sekarang" monolog Yedam yang sadar jika biasanya ia akan tahan belajar hingga jam tiga dini hari, lalu tidur sebentar dan kembali bangun di jam lima untuk bersiap ke sekolah.

Tapi percayalah demam ini mempengaruhi performa belajarnya. Sedikit menyusahkan karena mengambil banyak waktu istirahatnya.

"Aku Mohon, besok aku tak mau melihat mereka Tuhan. Jika kau tak bisa mengabulkan doa ku untuk mengubah sikap mereka, maka bantulah aku untuk tidak bertemu mereka besok pagi" Doa Yedam malam ini yang dengan cepat terlelap ke alam mimpinya.


























TBC...

Iya, aku paham ini masih boring banget, sabar ya bund🥲👍🏻

Hari ini pengen update aja gitu🦊💕

See you next chap💎~

(14/01/2022)

I Give Up [Yedam] ⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang