Brugh!Suara bantingan terdengar kuat, memecah hening di kamar berukuran empat kali enam meter itu.
"Berdiri!" Teriak seseorang terdengar murka.
Yedam sedikit terbatuk, lalu kembali berusaha menegakkan tubuhnya.
"Udah berapa kali di bilang kalau tugas kamu itu jaga adek kamu!, Bukan malah mencelakainya!," Bentak pria paruh baya itu yang kini sudah tanpa ampun mengayunkan ikat pinggang ke punggung Yedam.
Tak ada bantahan. Anak berusia tujuh belas tahun itu hanya diam, menerima pukulan demi pukulan untuk apa yang tidak di perbuatnya. Bahkan sekarang sudut bibirnya sudah penuh lebam bekas pukulan beberapa waktu lalu.
Matanya hanya terfokus menatap lurus ke lantai, tak ada reaksi, bahkan rintihan sakit pun tak keluar dari mulutnya.
"June udah!, Kasihan Yedam," teriak Rose dari luar kamar sekap yang memang sengaja di kunci dari dalam oleh si kepala keluarga itu. Mengetuk kuat secara berulang kali.
Flashback on
June terlalu kaget ketika melihat muka si bungsu yang lecet, tak memperdulikan penjelas Jeongwoo yang sedari tadi sudah berusaha menjelaskan alasan dari lebam di sudut bibirnya.
Tak perduli bagaimana pun kejadiannya, yang salah itu tetap Yedam. Siapa suruh anak sulungnya itu tak menjaga anak bungsunya dengan benar. Maka yang perlu di marahi ya si sulung, karena dia yang salah.
Pria paruh baya itu kini terlihat tegap, berdiri gagah dengan jas membalut tubuhnya yang masih bagus walau sudah menginjak usia berkepala lima.
Menunggu Yedam hingga keluar kelas di depan gerbang. Apalagi mengingat waktu pulang kelas Junior jauh lebih awal dari pada kelas Senior.
Pemandangan yang biasa bagi Yedam ketika melihat sang ayah menunggu di depan gerbang. Tentu saja ia sering melihat mobil ayahnya dari koridor tingkat dua, yang kebetulan ketika anak SMP pulang, maka anak-anak SMA sedang istirahat kedua. Menjadikannya sering mencuri pandang ke arah gerbang yang masih jelas bisa ia lihat dari bangunan tinggi itu.
Ayahnya itu selalu datang lebih awal untuk menjemput Jeongwoo, tak pernah sekalipun membiarkan adiknya itu menunggu jemputan. Membuatnya jadi berkhayal melihat ayahnya menunggu dirinya di depan gerbang bangunan sekolahnya, bukan bangunan sekolah adiknya.
Dan tak tahu apakah ia harus mensyukurinya atau tidak karena hari itu akhirnya terwujud. Wah sepertinya Tuhan memang baik padanya.
Sungguh jarang bisa melihat ayahnya berdiri tepat di gerbang, Yedam tahu jika sang ayah memang selalu keren, tapi pemandangan di depannya saat ini..., Beneran Yedam kehabisan kata untuk meluapkan kesenangan dan rasa kagum pada sang kepala keluarga.
Hanya saja satu hal yang kurang jika di perhatikan dari sebelumnya ketika ia melihat sang ayah yang menunggu sang adiknya. Senyuman. Di wajah orang dewasa itu sama sekali tak terpancar senyum seperti yang ia lihat tadi.
Yang ia lihat sekarang hanyalah raut wajah datar dengan mata menelisik tajam dan penuh murka padanya.
Langkah tegasnya seakan mengatakan pada Yedam untuk mengikutinya menuju parkiran mobil. Tentu saja butuh waktu bagi Yedam untuk pulih dari keterkejutannya yang sebentar itu, karena sang ayah kembali menghentikan langkahnya.
Kembali menatap tajam pada dirinya lalu berjalan pergi meninggalkannya, seakan menyatakan jika ia tak ingin di bantah. Berjalan dengan langkah lebar menuju mobil beliau yang kini tengah terparkir rapi di antara mobil mewah lainnya. Tanpa aba-aba ikut memasukkan diri di bangku penumpang belakang.
Miris rasanya. Itu adalah mobil keluarganya, tapi bagi dirinya mobil itu seakan tak lebih dari sekedar tumpangan sementara. Bokongnya bahkan terasa terlalu asing dengan kursinya yang empuk, mungkin ia sudah terlalu biasa dengan sensasi terdesak dalam bus yang memaksanya berdiri terlalu lama hingga merasakan keram dan tak bisa duduk nyaman di bangku panas angkutan umum itu.
Berbeda dengan disini.
Disini dingin. Sangat dingin. Wajar saja mungkin karena AC mobil yang menyala—itulah yang akan di pikirkan orang lain ketika masuk ke dalam mobil ini. Berbeda lagi jika dari sudut pandang mereka yang mengetahui perkaranya. Yedam sadar, dingin itu bukan hanya karena dari pendingin udara, tapi aura ayahnya lah yang membuat semuanya terasa dingin.
Samar-samar ia bisa melihat wajah Jeongwoo yang sesekali mencuri pandang padanya. Bagi Yedam raut wajah Jeongwoo itu tetap sama, selalu menggemaskan bagaimana pun keadaanya. Sementara Jeongwoo hanya bisa tersentak kaget, ketika Yedam menatap matanya dari bangku penumpang di jok belakang.
Si bungsu dibikin semakin terperangah ketika melihat Yedam tersenyum lembut padanya dengan pandangan yang tak pernah berubah pula—menatapnya seakan menyatakan jika semua akan baik-baik saja dan bukan salahnya. Membuat si bungsu siap menumpahkan tangis di tempatnya sekarang.
Dia yang salah, tapi kenapa harus kakaknya yang menerima hukuman?.
Flashback off
Tatapan itu masih tetap sama, tak ada yang berubah sedikit pun walau sudah hampir satu setengah jam tangannya mengayunkan cambuk.
Bahkan tubuh ringkih yang menjadi objek cambukan nya sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Terlalu sesak hanya untuk bernapas.
"Anak sialan" maki June akhirnya sebelum membuang cambuk itu ke lantai, melangkah lebar untuk pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Yedam dalam kesendirian.
Rose yang memang sedari tadi menunggu di depan pintu segera menerobos masuk ketika June keluar dari dalamnya, menghampiri Yedam dengan memposisikan dirinya di depan si sulung, lalu menangkup wajah anak sulungnya itu. Mengamati berbagai luka legam yang kini sudah membiru di wajah sang anak. Membuat air matanya kembali menetes—merasa sakit di ulu hatinya karena melihat kondisi mengenaskan dari si putra pertamanya.
Baru saja wanita itu ingin memeluk tubuh si sulung yang kumuh, tapi pemuda itu justru tiba-tiba berdiri. Menatap kosong pada sang ibu yang kini duduk di bawah—posisinya beberapa waktu lalu.
"Jangan di bawah,"
Wajah Rose yang sudah banjir air mata itu kini tampak heran, tak memahami maksud dari kalimat si sulung.
"Kotor," Rose makin membisu di tempatnya, terkejut dengan ucapan yang keluar dari mulut mungil itu. Membuatnya semakin menangis.
Tetapi rengkuhan Yedam di kedua bahu Rose membuatnya diam seketika, menatap dalam pada manik mata Yedam. Tangan itu berusaha menegakkan tubuhnya—menjauhkannya dari lantai gudang yang penuh debu.
"Eomma nggak cocok duduk di bawah" sambung Yedam lalu merangkul tubuh terisak sang ibu yang kini ia tuntun untuk berjalan menuju ke luar gudang.
Di ambang pintu, bisa Yedam lihat Jeongwoo setengah mengintip takut padanya. Kembali melihat tingkah lucu Jeongwoo, membuat Yedam mau tak mau menjadi tersenyum—berusaha menenangkan si adik yang ia yakin sejak tadi gemetar karena ketakutan.
Tangannya terlambai untuk memanggil si bungsu. Sedikit ragu Jeongwoo akhirnya mendekat, setelah di rasa Yedam posisi Jeongwoo sudah cukup dekat dengannya, maka dengan segera pemuda itu mengalihkan tubuh eomma mereka ke dalam rengkuhan si bungsu.
"Bantu eomma siap-siap, sebentar lagi makan malam" Jeongwoo diam, tidak memahami apa isi kepala kakaknya ini, "jangan sampai appa menunggu," lanjut Yedam yang menyempatkan diri mengelus kepala bagian belakang Jeongwoo, lalu berjalan pergi meninggalkan kedua orang itu. Menaiki tangga hendak menuju kamarnya.
Jeongwoo terpaku. Ia tahu jika kakaknya itu sok kuat, bahkan netranya masih menangkap tubuh kakaknya yang sesekali menopang pada pegangan tangga. Dapat dengan jelas Jeongwoo melihat punggung berlapis kaos putih kusam itu mencetak beberapa bekas merah disana, darah.
Membuatnya tanpa sadar ikut meneteskan sebulir bening air mata. Sedih dengan apa yang harus di terima sang kakak.
TBC...
See you next chap💎~
(18/01/2022)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Give Up [Yedam] ⚠️
Fanfiction[Completed] "Apa aku juga harus terlahir dengan satu ginjal dulu, baru eomma memperhatikan aku dan Appa mau menggenggam jemari ku seperti adek?"-Yedam ================================ Start : 11/01/2022 Finish : 29/03/2022 ■ Warning!, Mental illne...