03: UKS

1.7K 262 25
                                    


Yedam menghela napas. Sudah ia duga seperti biasa, semua selalu tak berpihak padanya bahkan Tuhan pun ikut tak berpihak.

Dengan separuh niat Yedam mengunyah sarapannya. Melirik singkat pada ketiga orang yang kini juga tengah duduk di meja yang sama dengannya—meja makan.

"Yedam"

Panggilan itu membuat Yedam menegakkan punggungnya, sedikit merasa tersanjung karena jarang sekali sang kepala keluarga memanggil namanya.

"Ne Appa" jawab Yedam dengan semangat, menatap dalam sang ayah yang kini juga menatap dirinya tepat di depannya saat ini.

"Bertukar lah dengan tempat duduk eomma mu, aku sungguh kehilangan nafsu makan sekarang" perintahnya yang kemudian kembali melanjutkan sarapannya.

"June jangan gitu sama Yedam" tegur seorang perempuan yang duduk di samping Yedam.

"Eomma," cegah Yedam ketika ibunya itu hendak kembali memaki ayahnya, "Gwenchana" bisik Yedam lalu berdiri. "Aku sudah menyelesaikan sarapan ku, aku pergi dulu" lanjut Yedam lalu membungkuk sopan pada ketiganya.

"Tapi Yedam, kau baru makan empat sendok nak" cegah sang ibu, membuat Yedam berhenti di tempatnya, setidaknya wanita yang melahirkannya itu masih peduli padanya.

"Jangan terlalu berlebihan Rose, dia itu tak lemah," balas June yang kini sedang meletakkan lauk tambahan ke piring seseorang yang sejak tadi duduk dalam diam di sebelahnya.

Itu adiknya, Jeongwoo. Remaja periang dengan segala tingkah lucu dan perilaku jahilnya. Berbeda sekali dengan Yedam yang jauh lebih pendiam dan tak banyak tingkah, bahkan terkadang pemikiran  anak itu terlalu dewasa untuk seusianya.

June tersenyum, tapi sayang senyum itu bukan untuk Yedam. Yah walau senyum itu bukan untuk Yedam, setidaknya ia senang karena bisa melihat sang ayah tersenyum di pagi hari ini.

Yedam tersenyum ketika melihat mata Jeongwoo yang bulat kini menatapnya, seakan mengantarkan rasa semangat untuk Yedam. Adiknya itu benar-benar, membuatnya tak bisa berkata apapun karena terlalu menggemaskan.

Perhatian sederhana ibunya, senyuman ayahnya, dan tatapan lucu dari sang adik, sesuatu yang sederhana namun sangat berdampak pada perasaan Yedam, membuatnya senang bukan kepalang.

Langsung saja pemuda itu berjalan pergi menuju dapur, menemukan bibi Ahn yang sedang mencuci piring.

"Bibi~, Yedam pergi ya" manja Yedam sambil memeluk pinggang berlemak wanita tua itu, mengecup pipinya singkat lalu berlari pergi ke luar dapur sebelum sempat wanita itu membalas.

Membuat bibi Ahn tersenyum lembut karena tingkahnya, tapi senyum itu tiba-tiba memudar. Dengan cepat wanita tua itu menyusul Yedam ke depan pintu, terlihat di sana ada Yedam yang sedikit lagi menyentuh gerbang.

"Den!," Panggil bibi Ahn, membuat Yedam membalikan badannya.

"Kenapa, bi?," Jawab Yedam yang terdiam ketika merasakan permukaan dingin menyentuh keningnya.

"Yah, tenyata beneran, Aden lagi sakit ya den?. Ini demamnya tinggi banget, izin aja ya sekolahnya" ceramah bibi Ahn.

Hati Yedam mencelos, bukankah seharusnya ini peran ibu kandungnya ya?, Kenapa malah bibi Ahn yang menempati posisi ini sekarang?.

Membuatnya tersenyum getir, tapi secara tak langsung ikut bersyukur. Setidaknya ia masih bisa mendapatkan perhatian itu dari ibu asuhnya sejak kecil.

"Nanti Yedam beli obat di jalan pas mau ke sekolah deh bi, hari ini Yedam ada ulangan soalnya" jelas Yedam berusaha meyakinkan.

Tapi tetap saja wajah orang yang sudah menua di depannya ini masih amat kentara cemasnya.

"Bibi bilangin ke tuan ya biar anterin Aden sekalian" bibi Ahn hendak kembali masuk saat tangan Yedam menahan lengannya, kembali mengambil seluruh atensi wanita tua itu.

I Give Up [Yedam] ⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang