8: What Draco Thinks About Jane

226 52 3
                                    

Draco's pov

Seluruh orang di Hogwarts—atau bahkan seluruh dunia sihir— mengenalku sebagai Draco Malfoy, si anak menyebalkan yang berpegang teguh pada supremasi darah murni.

Ya, fakta itu memang benar. Orang tuaku mengajarkan hal itu sejak dulu. Itu adalah nilai yang keluarga kami pegang.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan seseorang di Diagon Alley. Awalnya aku pikir dia anak yang aneh, karena memakai alat yang menggantung di kepalanya. Nama anak itu Janice.

Sejujurnya aku merasa cukup senang ketika Janice dengan ramah mengajakku berteman tanpa peduli kalau aku ini adalah Malfoy. Atau mungkin Ia tak tahu tentang kehebatan keluargaku.

Banyak orang yang ingin dekat denganku karena aku adalah Malfoy si pureblood terhormat yang kaya raya. Ck, dasar penjilat.

Tapi banyak juga orang-orang yang menjauhi seorang Malfoy karena katanya kami kejam dan arogan. Tak jarang kami dipandang sebagai pelahap maut.

Intinya, sangat susah untukku bertemu dengan orang yang ramah dan dengan tulus menawarkan pertemanan.

Saat mengenal Janice Morningstar, perasaanku berada diantara senang dan aneh. Merasa senang karena Janice adalah gadis yang membuatku nyaman dan merasa aneh karena aku senang berteman dengan mudblood.

Kami bertemu lagi di Hogwarts. Tapi aku tak ada keberanian untuk menyapanya. Ia terlihat berbicara dengan Granger dan Bones.

Lagipula, apa yang akan dikatakan teman-temanku kalau aku menyapa seorang darah Lumpur? Seluruh sekolah akan menganggapku lelucon.

Saat penyortiran aku melihat Janice sedang disortir. Banyak orang yang membicarakannya, katanya sih Ia penyanyi dan anak dari selebriti terkenal di dunia muggle.

“Hm, sangat berani, ramah namun juga pemarah, dan pintar tapi cukup licik. Ah! Ambisius, sangat ambisius. Kau ingin menjadi orang yang diakui, bukan?” kata sorting hat dengan keras ketika menyortir Janice.

"Tolong jangan masukan aku ke dalam asrama yang banyak berisi orang-orang menyebalkan," kata Janice pada sorting hat.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Dia terdengar sangat lucu.

"Baiklah aku tau dimana aku akan meletakkanmu, SLYTHERIN!" teriak sorting hat.

Aku hendak ingin bertepuk tangan dan teriak girang. Tapi niatku itu aku urungkan karena melihat banyak murid slytherin yang menatap tak suka pada Janice.

'Seorang mudblood masuk slytherin?!'

'Demi Merlin, aku merasa sangat terhina harus satu asrama dengan mudblood itu!'

Seluruh anak slytherin menghinanya. Bahkan Bloody Baron, hantu asrama slytherin, merasa bingung ketika ada mudblood yang disortir ke slytherin.

Aku menyembunyikan perasaan senangku sebisa mungkin. Namun, Ia tiba-tiba duduk dihadapanku lalu menatapku dengan antusias.

"Hai Draco, kan? Senang dapat satu asrama denganmu! Kau suka cookies yang aku berikan?" tanya dia.

Bodohnya, apa dia tak menyadari situasi kalau semua anak slytherin sedang memaki dirinya.

"Kau kenal dengan mudblood ini, Draco?" tanya Goyle.

"Aku bertemu dengan Draco di Diagon Alley. Salam kenal, aku Janice," Janice mengulurkan tangannya pada Goyle.

Tapi Goyle, Crabbe, dan beberapa orang disekitarku menatapnya remeh.

"Ck, aku tak ingin menyentuh mudblood sepertimu," kata Goyle dengan tajam.

"Mudblood ini sepertinya berhalusinasi kalau Draco Malfoy adalah temannya," hina Crabbe.

"Sejujurnya aku tak tau apa yang kalian maksud dengan 'mudblood.' Tapi aku memang bertemu dengannya di Diagon Alley. Iya kan, Draco?" bela Janice, kemudian Ia beralih menatapku.

Sebenarnya, Aku bingung ingin menjawab apa. Kalau aku menjawab jujur pertanyaan Janice, Crabbe dan Goyle pasti akan menganggapku rendah.

"Mana mungkin aku berkenalan bahkan berteman dengan darah kotor sepertimu!" kataku dengan remeh, dicampur dengan perasaan menyesal juga.

Aku merasa sangat bersalah ketika Crabbe, Goyle, dan beberapa anak slytherin lainnya mulai membuat Janice terlihat bodoh karena mengaku Ia berteman denganku.

Bahkan saat pertama kali menduduki meja slytherin, Ia sudah mendapatkan rundungan. Perundungan Janice tetap berlanjut hingga tiga tahun ini.

Dan aku tak bisa membantunya

Bukan tak bisa, tapi aku pengecut. Tapi aku tak mau orang-orang berpikir aku menyukainya, sebagai teman, obviously.

Tapi akhir-akhir ini, aku sangat tidak tahan untuk tetap berpura-pura tidak mengenal Janice.

Aku tak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan sekarang. Aku juga tak peduli jika nantinya orang tuaku marah kalau aku berteman dengan muggleborn.

Jangan salah paham. Aku tetap tidak menyukai muggleborn. Aku masih sama seperti ayahku.

Bedanya aku menyukai Janice Morningstar.

Sekarang Janice tertidur di dadaku dengan lelap. Aku membelai rambut hitam legamnya yang beraroma seperti chamomile.

"Maaf sudah membuat tiga tahunmu di Hogwarts seperti neraka, Janice." bisikku sambil menatap wajahnya yang sedang tertidur pulas.

Aku tak tahan untuk tidak memainkan pipi Janice yang sangat chubby. Aku bahkan terkekeh saat memikirkan tekstur pipi Janice seperti roti langganan Ibuku.

"Tapi sekarang aku akan mulai berusaha untuk menjagamu. Dari orang yang menganggumu atau menjagamu dari rasa kesepian,"

"Selamat tidur Morningstar. Aku harap besok adalah hari yang menyenangkan untukmu,"

Aku melingkarkan tanganku di pinggang Janice. Entah hangat perapian dipadukan dengan hangat kulit Janice, membuat aku terlelap di Common Room.

----

August 15, 2021

how we become friend, (𝘥𝘳𝘢𝘤𝘰 𝘮𝘢𝘭𝘧𝘰𝘺 x oc) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang