PART 33

4.1K 453 5
                                    

Bagaimana rasanya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagaimana rasanya?

Ketika seseorang pergi meninggalkan kita tanpa kita ketahui, tanpa kita duga, atau bahkan sempat tidak kita percayai.

Di dunia ini, tidak ada yang abadi. Semua yang ada tetap bakalan pergi ke pangkuan yang kuasa. Seperti dia, laki-laki cinta pertama ku. Yang dulu menggendong tubuh ku penuh sayang, menciumi wajah anak nya yang di penuhi noda coklat. Dan memandikan dirinya ketika anak itu nakal karena nekat main hujan-hujan sampai larut.

Haha. Hujan di bulan Juni, kamu kembali datang, tapi dengan membawa kesedihan yang teramat menyakitkan.

Sampai nanti pun, Nalen tidak akan pernah melupakan semua tentangmu Papa.

Aku akan sangat merindukanmu.

Semua orang telah meninggalkan area pemakaman, begitupula dengan ibunya Nalen yang sudah pulang terlebih dahulu di antar oleh Geovano. Karena takut kalau nanti kesehatan nya akan terganggu.

Menyisakan Nalen yang masih setia mengusap nisan yang mengukir nama ayah nya, Ferdian Gautama.

Jendra berada di sampingnya, mengusap surai kecoklatan milik Nalen.

"Papah, udah tenang kan disana?" Nalen menoleh ke arahnya, wajahnya nampak pucat dengan kedua kantung mata yang melingkar sempurna di bawah matanya.

Jendra menghela napas pelan, menangkup wajah Nalen, mengusap pelan pipi lembut Nalen. "Hem, Om Ferdi pasti udah tenang disana. Om Ferdi nggak bakalan seneng kalau liat anaknya sedih kayak gini. Mengikhlaskan adalah jalan yang terakhir yang harus kita ambil"

Nalen menunduk, menatap kosong ke arah batu nisan Papah nya. "Secepat itu? Kenapa Tuhan selalu ngambil apa yang gw punya? Kenapa Tuhan nggak pernah biarin gw bahagia? Kenapa dia semena-mena mempermainkan hati umatnya? Jendra, apa salah kalau gw nggak terima? Apa salah kalau gw masih belum ikhlas?" manik rusanya menatap lamat-lamat ke arah Jendra, terlihat raut wajah kesedihan yang tersirat di wajah polosnya.

Jendra menggeleng, menarik Nalen kedalam dekapannya. "Kita nggak bisa protes Na, sebanyak apapun itu. Kalau Tuhan emang udah berkehendak, kita nggak bisa berbuat apa-apa"

"T-tapi kenapa??"

"Takdir"

Nalen tersenyum remeh, menggigit bibir bawahnya, berupaya untuk menahan tangisnya agar tidak pecah lagi. Kepalanya terlalu pusing karena terus-terusan menangisi kepergian papah nya.

"Jendra"

"Ya?"

"Emm" Nalen menggeleng, dia terlalu sulit untuk menafsirkan suasana hatinya yang saat ini.

Gemerincik hujan membasahi sekitar pemakaman, membuat keduanya langsung panik dan mencari tempat untuk meneduh. Meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi karena cuaca yang sangat buruk hari ini. Tidak dapat di tebak.

[ ✔ ] Rajendra - nominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang