Author's Note:
Timeline chapter ini merupakan timeline setelah Case 3 - Kuyang dari cerita Opera Berdarah. Bagi yang belum membaca Case 3 - Kuyang, kemungkinan akan menemukan kesulitan dalam memahami latar belakang plotnya. Namun, meskipun demikian, chapter ini tetap dapat dinikmati meskipun belum membaca cerita Opera Berdarah.
Selamat membaca!
----------------------------------------------------------------------------
Sabtu pagi itu, Ilman sedang linglung. Gelisah parah, situasi rumah yang jadi sebab muasalnya. Terhitung sudah sehari dia diacuhkan oleh sang ibunda, setelah diberi wejangan panjang dan pelampiasan amarah tentu saja. Si ibu baru tahu kalau Ilman—dan lima temannya—sudah tiga hari tidak masuk sekolah dan sabtu ini orang tua masing-masing dipanggil untuk menghadap guru BK.
Saat memberikan surat pemanggilan orang tua, Ilman sebetulnya sudah mempersiapkan cerita. Namun, kabur, minggat—apapun alasan yang dia buat sama sekali tidak didengarkan ibunda. Tiga hari tidak masuk sekolah merupakan dosa berat bahkan untuk remaja nakal macam Ilman. Mungkin kelewat kesal, jadilah sang ibunda sempurna menutup mulut dan telinga, mengacuhkan Ilman seolah anaknya itu tidak pernah ada.
Ajakan perang dingin itu tentu tidak bisa disanggupi Ilman. Saling diam dengan sang ibunda macam neraka baginya. Apapun—hukuman apapun asal bukan dijauhkan dari ibu, begitu yang Ilman rasa. Bukan karena manja, bukan; ini masalah hati yang tidak tenang. Rasanya seperti ada yang mengganjal. Rasanya seperti jauh dari keluarga padahal dia sedang ada di rumah.
Enggan terus-menerus tertekan dalam amarah sang ibunda, Ilman bangkit berdiri dan mulai mengenakan jaket. Aku harus berbuat sesuatu, pikirnya. Dilihat isi dompet, perlahan dihitung lembar demi lembar sisa uang jajan bulan ini. Hanya cukup untuk membeli kue. Ah, tak apalah. Semoga nanti sogokan yang dia bawa mampu meredam hati panas sang ibunda.
Namun, tiba di atas bus kota yang padat, kepala Ilman kembali penat. Kue apa yang harus aku beli? Kalau kue mahal macam red velvet, paling hanya dapat satu atau dua potong. Cukupkah porsi sekecil itu dijadikan permintaan maaf? Atau kue jajanan pasar saja? Kue cucur dan apem, bisa dapat sekeranjang! Ah, kue biasa macam itu apa pantas kalau dijadikan permintaan maaf?
Agak cerah sedikit warna wajah Ilman begitu turun dari bus, nampak di ujung terminal seorang temannya yang bertubuh tinggi besar tengah memilih-milih buah mangga dari seorang pedagang. Setengah berlari Ilman datang menghampiri, "Oy, Dyth! Tumben kau ke pasar!"
Adyth tidak langsung jawab menyapa. Terlebih dahulu dia memperhatikan orang yang baru datang, berpikir sejenak membuat terkaan apakah ini pertanda masalah baru akan datang. "Rumahku hanya lima ratus meter dari sini, Man. Kenapa kau mesti heran?"
Ilman terus saja melemparkan senyum lebar. "Bagaimana keadaanmu, kawan? Sudah jauh lebih baik?"
"Inginnya kujawab tidak, sama sekali belum baikan," ditanya seperti itu, lebam ungu di wajah Adyth tiba-tiba berdenyut lagi. "Tapi yah, kau tahu orang tuaku, Man. Kalau tidak hilang sebelah biji mata, aku masih akan dianggap baik-baik saja."
"Kau sendiri bagaimana?" Adyth balik bertanya, membuyarkan lamunan Ilman yang tengah menatap ke deretan toko. "Sepertinya kau juga tidak sedang baik-baik saja."
"Kok kau tahu? Ya, aku memang sedang ada sedikit masalah di rumah."
Adyth menyipitkan mata, sebuah bentuk afirmasi bagi dia yang malas untuk mengiyakan. Tentu saja, Man. Semua orang akan langsung tahu dengan hanya satu kali melihat wajah kusutmu, apalagi orang yang sudah berteman denganmu selama lebih dari sepuluh tahun.
"Segelas cendol pasti akan membuat hatimu lebih adem. Ayo!"
"K-kau yang traktir, kan?"
Makin jelas bagi Adyth apa masalah sahabatnya. Kalau segelas cendol lima ribu Rupiah Ilman sampai tidak sanggup bayar, pastilah masalahnya berhubungan dengan uang. "Aku yang traktir, Man, tenang! Kau mau minum satu gentong juga aku bayarin! Sekarang kau bantulah dulu aku memilih mangga mana yang manis ini. Di mataku semuanya kuning, semuanya sama soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)
Short StoryApa yang dilakukan anak SMA bengal saat bosan belajar? Minggat? Bolos? Berantem? Main game? Pacaran? They do more than that!!! Murid yang terkenal nakal di lingkungan sekolah, tidak lantas gagal di kehidupan nyata. Mereka punya ribuan kisah menarik...